Salah Langkah Perumusan Kebijakan Subsidi LPG
“Viral based policy bukan merupakan bentuk partisipasi masyarakat yang ideal dalam sistem pembentukan suatu kebijakan pemerintah”
Penyesuaian Kebijakan dalam Masa Transisi Pemerintahan
Lebih dari 100 hari sudah pemerintahaan Prabowo-Gibran menjabat. Beragam kebijakan pula telah dikeluarkan. Carut marut pengambilan kebijakan oleh pemerintah guna penyesuaian masa transisi pemerintahan lama dengan pemerintahan baru tidak terhindarkan. Salah satu contoh, kebijakan larangan penjualan LPG subsidi melalui pengecer yang disampaikan pemerintah pada tanggal 1 Februari 2025. Kebijakan tersebut tentu tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Baca juga: Apakah Tindakan Main Hakim Sendiri Dipidana?
Pasalnya, kebijakan penertiban pengguna LPG subsidi tersebut telah tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 37.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang LPG Tertentu Tepat Sasaran [“Kepmen ESDM No. 37 Tahun 2023”] yang ditetapkan pada tanggal 27 Februari 2023. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk mengendalikan pendistribusian LPG subsidi tepat sasaran, yaitu diperuntukan untuk rumah tangga, usaha mikro, nelayan sasaran dan petani sasaran.
Hingga akhirnya Menteri ESDM mengeluarkan diskresi untuk menghentikan pendistribusian LPG subsidi melalui pengecer dan mengalihkan pendistribusian melalui pangkalan LPG. Dengan asumsi pemerintah dapat mengendalikan penerima subsidi LPG subsidi. Sayangnya kebijakan yang terkesan mendadak tersebut kemudian menimbulkan dilema. Disatu sisi pemerintah berharap dapat melakukan kontrol terhadap pengguna LPG subsidi, namun disisi lain masyarakat justru kesulitan menjangkau pangkalan resmi LPG. Dampaknya kelangkaan LPG terjadi, antrean panjang di pangkalan LPG membludak, hingga menyebabkan protes masyarakat terhadap pemerintah.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Prabowo memerintahkan Menteri ESDM untuk membatalkan kebijakan larangan pengecer LPG subsidi. Seketika atas perintah tersebut, Menteri ESDM mengubah status pengecer menjadi sub-pangkalan agar dapat kembali mendistribusikan LPG subsidi. Inkonsistensi kebijakan pemerintah tersebut tentu menimbulkan polemik dan kebingungan di masyarakat, mana kebijakan yang harus dilaksanakan dan dipatuhi.
Salah Langkah Perumusan Kebijakan oleh Pemerintah
Penerapan kebijakan larangan penjualan LPG subsidi memang didasarkan pada Kepmen ESDM No. 37 Tahun 2023 yang telah dibuat sejak tahun 2023 lalu. Namun tidak adanya sosialisasi perihal perubahan kebijakan yang diambil tersebut membuat masyarakat kalang kabut dengan adanya pembatasan tersebut. Hal itu menimbulkan pertanyaan terkait apakah proses perumusan dan penerapan kebijakan yang diambil oleh Menteri ESDM telah tepat?.
Sejatinya dalam Diktum Ketiga Kepmen ESDM No. 37 Tahun 2023 telah diatur mengenai tahapan pelaksanaan kebijakan tersebut. Yakni pada Tahap I, terlebih dahulu dilakukan proses pendataan pengguna LPG subsidi oleh Badan Usaha Penerima Penugasan Penyediaan dan Pendistribusian LPG subsidi (dalam hal ini Pertamina). Pada Tahap II, barulah dilakukan pembatasan dimana hanya masyarakat tertentu yang telah terdata (pada Tahap I) yang dapat membeli LPG subsidi. Namun pada faktanya, pendataan yang dilakukan oleh Pertamina belum menyeluruh sehingga banyak masyarakat yang berhak namun belum terdata sebagai pengguna LPG subsidi.
Hal inilah yang menjadi hambatan dalam upaya pengendalian LPG subsidi lantaran penerima LPG subsidi masih belum terdata dengan baik. Kebijakan pemerintah yang menghentikan penjualan LPG subsidi melalui pengecer seolah ‘jalan ninja’ mengatasi subsidi tidak tepat sasaran tanpa menyelesaikan permasalahan utamanya yakni pendataan masyarakat berhak penerima LPG subsidi. Kebijakan yang diambil tersebut merupakan bentuk diskresi yang diambil oleh Menteri ESDM lantaran dalam Kepmen No. 37 Tahun 2023 maupun peraturan pelaksana lainnya tidak secara implisit melarang adanya penjualan melalui pengecer.
Secara sederhana, diskresi adalah kewenangan pejabat pemerintahan mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan apabila belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara jelas dan lengkap. Meskipun diskresi merupakan kebebasan pejabat pemerintahan, namun untuk menggunakan diskresi perlu memperhatikan persyaratan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik [“AUPB”]. Beberapa asas dalam AUPB adalah asas kemanfaatan, kecermatan, dan kepentingan umum. Munculnya gelombang protes masyarakat pasca dikeluarkannya kebijakan larangan penjualan LPG subsidi melalui pengecer menunjukkan pemerintah tidak cermat dalam melihat permasalahan dan kebutuhan yang ada di masyarakat sehingga kebijakan yang diambil tidak berorientasi pada kemanfaatan dan kepentingan umum masyarakat.
Viral Based Policy Bukan Solusi
Lebih jauh lagi, salah langkah kebijakan pemerintah juga nampak ketika kebijakan awal tentang larangan pengecer LPG subsidi kemudian seketika diubah pasca gelombang protes masyarakat. Sejatinya pengambilan kebijakan yang demikian adalah kurang tepat. Viral based policy atau kebijakan yang diambil karena faktor viralnya suatu isu mungkin terlihat sangat solutif guna sejenak memuaskan tuntutan masyarakat dan meredam kegaduhan publik. Namun viral based policy tersebut bukan merupakan bentuk partisipasi masyarakat yang ideal dalam sistem pembentukan suatu kebijakan pemerintah.
Baca juga: pinterhukum
Idealnya, suatu kebijakan sebelum disahkan akan melalui beberapa tahapan diantaranya proses perancangan, pembahasan yang meliputi diskusi publik hingga tahap akhir pengesahan. Pada tahap diskusi publik, partisipasi masyarakat sangat diperlukan, hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Melalui ketentuan tersebut, negara menjamin hak masyarakat dalam hal memberikan masukan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan baik dilakukan secara daring/luring. Tentunya dengan terbukanya ruang partisipasi masyarakat dapat memberikan masukan bagi pemangku kepentingan untuk membentuk kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sedangkan dalam viral based policy tidak melalui prosedur pembentukan kebijakan sebagaimana umumnya. Kebijakan yang diambil melalui pendekatan ini merupakan respon pemerintah terhadap isu atau krisis yang tengah mendapat sorotan masif dari masyarakat. Tidak adanya proses perancangan, pembahasan dan diskusi dalam viral based policy berdampak pada rendahnya kualitas produk kebijakan yang dibentuk akibat minimnya kajian empiris sebagai dasar penyusunan kebijakan. Hal tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.
Urgensi Partisipasi Masyarakat yang Ideal dalam Perumusan Kebijakan
Kendati kemanfaatan tertinggi adalah tolok ukur diambilnya suatu keputusan/kebijakan oleh pemerintah. Perumusan kebijakan juga harus memperhatikan prosedur yang ada, khususnya memberikan ruang partisipasi masyarakat yang ideal. Hal tersebut juga merupakan bentuk kontrol terhadap pemerintah dalam menyusun kebijakan. Sehingga pengimplementasian kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik sebagaimana tujuan dibentuknya suatu kebijakan. Serta yang paling utama adalah dapat menghadirkan solusi bagi permasalahan di masyarakat.
Penulis
Virda Wildan dan Maullana Tegar Bagaskara