Ketika Pedoman Menjadi Penghalang
Permasalahan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda terus menjadi topik kontroversial dalam diskursus hukum di Indonesia. Walaupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan tidak secara eksplisit menyatakan larangan terhadap praktik tersebut, kecenderungan putusan pengadilan menunjukkan adanya penolakan atas permohonan legalisasi perkawinan beda agama.
Diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 mempertegas kecenderungan tersebut, dengan memberikan arahan normatif kepada para hakim untuk menolak permohonan tersebut, yang justru menimbulkan polemik baru mengenai kepastian dan keadilan hukum.
Ambiguitas Hukum dalam UU Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa keabsahan suatu perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agama yang dianut oleh masing-masing pihak. Rumusan tersebut mengindikasikan bahwa keberlakuan hukum agama menjadi tolok ukur utama dalam menetapkan sah atau tidaknya suatu perkawinan, namun tidak secara tegas mengatur mengenai legalitas perkawinan antar pemeluk agama berbeda. Kondisi ini membuka peluang interpretasi yang luas, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan atau ambiguitas norma.
Baca juga: Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo dalam karyanya Teori Hukum, sistem hukum positif di Indonesia kerap kali membuka ruang untuk berbagai penafsiran, terutama ketika berhadapan dengan persoalan hukum yang tidak diatur secara rinci. Dalam konteks Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, ketentuan tersebut tidak memberikan ketegasan mengenai boleh atau tidaknya perkawinan lintas agama, sehingga menimbulkan ketidakpastian di tengah masyarakat.
Dalam bukunya Teori Hukum: Sebuah Pengantar, Mertokusumo menegaskan bahwa hukum positif tidak selalu mampu memberikan jawaban yang eksplisit terhadap persoalan hukum kontemporer. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan interpretatif dari aparat hukum untuk mengisi kekosongan norma secara bijaksana guna menjamin kepastian hukum (Mertokusumo, 2009: 45).
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014
Dalam perkara Nomor 68/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan pengujian materiil yang bertujuan untuk melegalkan perkawinan antar pemeluk agama berbeda. Namun demikian, putusan tersebut tidak memberikan penafsiran yang komprehensif mengenai pengaturan hukum terhadap isu tersebut. Mahkamah hanya menegaskan bahwa Indonesia tidak menganut sistem negara sekuler dan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan tetap mengacu pada ketentuan dalam hukum agama masing-masing.
Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam karyanya Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia, menjelaskan bahwa meskipun Mahkamah tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama, namun realitas hukum positif di Indonesia belum menyediakan ruang legal yang memadai untuk melaksanakannya. Hal ini disebabkan oleh belum tercapainya titik temu atau kesepahaman antar berbagai agama yang ada.
Asshiddiqie (2014) menekankan bahwa: “Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 68/PUU-XII/2014 tidak serta-merta memberikan kepastian hukum mengenai perkawinan beda agama. Hukum agama tetap menjadi acuan, dan di sinilah peran negara dalam menjaga agar hukum agama tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.” (hlm. 112)
Penerbitan Sema No. 2 Tahun 2023: Menambah Ketidakpastian Hukum
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 memuat arahan bagi para hakim untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda. Kendati demikian, SEMA bukanlah norma hukum dalam pengertian formal, melainkan hanya bersifat sebagai pedoman internal administratif yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penggunaan SEMA untuk membatasi hak konstitusional warga negara dalam membentuk keluarga melalui perkawinan patut dipertanyakan legalitas dan kewenangannya.
Penggunaan SEMA sebagai dasar penolakan terhadap hak warga negara untuk melangsungkan perkawinan, seperti yang tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023, patut ditelaah secara kritis dalam bingkai kewenangan normatif serta kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Prof. H.B. Siahaan dalam bukunya Hukum Acara Perdata di Indonesia menegaskan bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung bukanlah instrumen pembentuk norma hukum baru, melainkan sekadar pedoman administratif internal yang ditujukan untuk membantu hakim dalam menangani perkara secara teknis.
Oleh karena itu, penggunaan SEMA sebagai dasar hukum substantif untuk menolak pencatatan perkawinan beda agama merupakan tindakan yang problematik, sebab bertentangan dengan asas kepastian hukum yang menuntut adanya norma hukum yang tegas, terbuka, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sebagaimana ditegaskan Siahaan:
“SEMA bukanlah norma hukum yang mengikat pihak ketiga atau masyarakat, sehingga tidak dapat digunakan untuk membatasi hak-hak individu yang dilindungi oleh konstitusi” (Siahaan, 2012, hlm. 88)
Telaah Teori Hukum dan Asas yang Relevan
Dalam rangka memahami implikasi yuridis dari SEMA Nomor 2 Tahun 2023 terhadap persoalan perkawinan beda agama, beberapa pendekatan teoritik dan asas hukum dapat dijadikan pisau analisis sebagai berikut:
Teori Hukum Positif
Hans Kelsen, melalui gagasannya dalam Pure Theory of Law, mengemukakan bahwa hukum positif merupakan kumpulan norma yang diberlakukan secara sah oleh otoritas negara, dan berfungsi mengatur hubungan antara warga negara dan sistem hukum yang mengaturnya. Dalam konteks Indonesia, ketika undang-undang tidak secara tegas melarang atau mengizinkan perkawinan antar pemeluk agama berbeda, kondisi tersebut menciptakan ketidakpastian dalam penerapannya.
Dalam situasi seperti ini, penerapan SEMA sebagai pedoman administratif untuk menyelesaikan ambiguitas norma tidaklah sejalan dengan asas legalitas, karena hakim seharusnya hanya menerapkan hukum yang telah ditetapkan secara sah. “Hukum merupakan keseluruhan norma yang ditetapkan oleh otoritas hukum yang sah, dan tugas hakim hanyalah menerapkan norma tersebut sebagaimana adanya, bukan menciptakan aturan baru.”
(Kelsen, 1967, hlm. 58)
Asas Kepastian Hukum
Prinsip kepastian hukum menuntut agar negara menjamin adanya peraturan yang bersifat tegas, dapat dipahami, dan dapat diakses oleh masyarakat, sehingga individu dapat mengetahui hak dan kewajiban hukumnya secara jelas. Keberadaan SEMA No. 2 Tahun 2023 yang mengatur substansi hak individu untuk menikah, tanpa landasan undang-undang yang eksplisit, justru berpotensi menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di tengah masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, kepastian hukum merupakan pilar esensial dalam sistem hukum, terutama ketika menyangkut perlindungan terhadap hak-hak sipil masyarakat. “Kepastian hukum adalah asas yang paling mendasar dalam sistem hukum apa pun. Hukum yang tidak memberikan kepastian akan menciptakan keragu-raguan dalam masyarakat.” (Soekanto, 2012, hlm. 49)
Asas Keadilan
Asas keadilan menghendaki bahwa setiap individu memperoleh perlakuan hukum yang setara tanpa diskriminasi atas dasar agama, keyakinan, atau latar belakang sosial lainnya. Ketika negara, melalui SEMA, menetapkan suatu pembatasan terhadap kelompok tertentu—dalam hal ini pasangan beda agama—untuk menikah, maka kondisi tersebut dapat dipandang bertentangan dengan prinsip keadilan substantif dan prinsip non-diskriminasi.
John Rawls, dalam A Theory of Justice, menegaskan bahwa prinsip keadilan mensyaratkan perlakuan yang setara dan akses yang adil bagi setiap individu dalam mengejar kebaikan hidup menurut pemahamannya masing-masing.“Keadilan sebagai keadilan yang setara menuntut agar semua individu, terlepas dari latar belakangnya, memiliki hak dan peluang yang sama untuk mengejar tujuan hidupnya.” (Rawls, 1971, hlm. 75)
Urgensi Pencabutan Sema Nomor 2 Tahun 2023
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang memberikan arahan kepada hakim untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan antar pemeluk agama berbeda sesungguhnya menimbulkan persoalan yuridis yang cukup mendasar. Keberadaan SEMA tersebut tidak hanya menambah ketidakpastian dalam praktik hukum, tetapi juga berpotensi mencederai prinsip-prinsip fundamental dalam sistem hukum Indonesia, seperti kepastian hukum, keadilan, dan kebebasan beragama.
Baca juga: Mengurai Siri’ dalam Sanksi Adat Seda’ terhadap Kawin Lari di Mamuju
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara eksplisit menyebutkan larangan terhadap perkawinan beda agama. Hal ini menimbulkan ruang interpretasi yang luas, sehingga muncul ambiguitas dalam praktik yudisial. Ketidakjelasan tersebut seharusnya diselesaikan melalui penafsiran hukum yang berlandaskan asas konstitusional, bukan dengan instrumen administratif yang bersifat internal seperti SEMA.
Dalam konteks teori hukum positif sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, tugas hakim adalah menerapkan hukum yang telah ditetapkan secara formal, bukan menciptakan norma baru melalui pedoman administratif. SEMA, sebagai instruksi internal Mahkamah Agung, bukanlah sumber hukum formal yang mengikat masyarakat. Oleh karena itu, menjadikan SEMA sebagai dasar untuk menolak hak konstitusional warga negara dalam hal membentuk keluarga adalah penyimpangan dari prinsip legalitas.
Lebih lanjut, dari sudut pandang asas kepastian hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Soerjono Soekanto, hukum yang baik harus bersifat jelas, dapat dipahami, dan mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap hak individu. Penggunaan SEMA untuk mengatur hal-hal yang menyentuh hak sipil dan kebebasan warga negara, seperti hak untuk menikah, justru memperburuk ketidakpastian karena tidak memiliki basis dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dari sisi keadilan, sebagaimana dianalisis dalam teori John Rawls, setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang setara di hadapan hukum. Ketika negara menetapkan instrumen yang secara sistemik membatasi hak sebagian warga—dalam hal ini pasangan beda agama—untuk menikah, maka keadilan substantif telah dikompromikan. Selain itu, hak atas kebebasan beragama, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, turut terancam oleh penerapan SEMA tersebut, karena instrumen tersebut secara tidak langsung menghalangi individu dalam menjalankan keyakinan dan memilih jalan hidupnya.
Dengan mempertimbangkan keseluruhan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 bukanlah solusi tepat dalam menjawab problematika hukum terkait perkawinan beda agama. Alih-alih menciptakan kejelasan, SEMA justru menambah ketidakpastian dan membatasi ruang kewenangan hakim untuk melakukan penilaian secara objektif dan adil. Oleh karena itu, pencabutan SEMA tersebut merupakan langkah konstitusional dan progresif yang perlu dilakukan demi menegakkan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan, kepastian, dan kebebasan beragama.
Kesimpulan
Penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang memberikan instruksi kepada hakim untuk menolak permohonan perkawinan antar pemeluk agama berbeda telah menimbulkan implikasi serius terhadap prinsip-prinsip dasar dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara eksplisit mengatur larangan terhadap praktik tersebut, pengadilan melalui penerapan SEMA justru menegaskan penolakan administratif tanpa basis hukum yang tegas dalam undang-undang. Hal ini memperparah ambiguitas norma dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Secara normatif, SEMA bukanlah produk hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara eksternal sebagaimana peraturan perundang-undangan, melainkan hanya bersifat sebagai pedoman internal yudisial. Penggunaannya untuk membatasi hak konstitusional warga negara dalam membentuk keluarga, khususnya hak atas perkawinan dan kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945, merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas, asas kepastian hukum, dan asas keadilan substantif.
Penelusuran terhadap teori hukum positif Hans Kelsen menunjukkan bahwa kewenangan hakim hanya terbatas pada penerapan hukum yang telah ditetapkan secara sah, bukan menciptakan norma baru melalui pedoman administratif. Demikian pula, asas kepastian hukum sebagaimana dijelaskan oleh Soerjono Soekanto menuntut keberadaan norma hukum yang tegas, jelas, dan dapat diakses. Sementara asas keadilan menurut John Rawls mewajibkan negara untuk menjamin perlakuan hukum yang setara bagi semua warga negara tanpa diskriminasi, termasuk dalam hal keyakinan agama dan hak untuk menikah.
Dengan memperhatikan seluruh aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberadaan SEMA No. 2 Tahun 2023 tidak hanya bermasalah secara normatif, tetapi juga bertentangan secara prinsipil dengan struktur konstitusi dan asas-asas hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pencabutan SEMA tersebut merupakan langkah yang mendesak untuk mengembalikan kewenangan hakim dalam memutus perkara secara independen, serta untuk menjamin tegaknya prinsip negara hukum yang demokratis, adil, dan menghormati kebebasan individu.
Referensi
Asshiddiqie, J. (2014). Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Kelsen, H. (1967). Pure Theory of Law (Translated by Max Knight). Berkeley: University of California Press.
Mertokusumo, S. (2009). Teori Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Siahaan, H. B. (2012). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Soekanto, S. (2012). Pengantar Studi Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 68/PUU-XII/2014.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Penolakan Permohonan Pencatatan Perkawinan Beda Agama.