Kawin Lari di Mamuju
Indonesia adalah sebuah negara yang berdasarkan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) khususnya pada Pasal 1 ayat (3). Ada masyrakat pasti ada hukum. Hukum muncul sebagai akibat dari kodrat manusia yang senantiasa hidup secara seosial atau berdampingan.
Sebagai makhluk sosial, manusia pada dasarnya selalu ingin bersosialisasi dan berkumpul dengan individu lainnya. Salah satu aturan hukum yang mengatur interaksi dalam masyarakat adalah hukum pidana. Dalam ranah hukum pidana, terdapat dua jenis hukum yang diterapkan oleh masyarakat, yaitu hukum pidana formal yang berbentuk peraturan tertulis yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan regulasi lainnya.
Selain itu, terdapat juga hukum pidana yang tidak tertulis atau berupa kebiasaan, yang disebut hukum pidana adat. Hukum pidana adat merupakan hukum yang hidup (the living law) yang mengatur tindakan-tindakan yang melanggar rasa keadilan dan norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dapat mengganggu ketenteraman dan keseimbangan sosial.
Dalam menerapkan hukum pidana adat, setiap masalah dapat diselesaikan secara menyeluruh terhadap semua permasalahan yang ada, karena hukum pidana adat lebih mementingkan pencapaian tujuan, yakni kebersamaan, ketimbang mempertahankan ketentuan yang ditetapkan oleh negara. Salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Barat yang masyarakatnya masih banyak terikat pada norma dan aturan adat adalah Kabupaten Mamuju Kecamatan Bonehau.
Selain hukum pidana umum yang diterapkan, terlihat juga pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sosial, yaitu penerapan hukum pidana adat. Sanksi adat Seda’ adalah salah satu contoh penerapan hukum pidana adat yang masih dilaksanakan di Kecamatan Bonehau Provinsi Sulawesi Barat.
Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya: Konflik Antara Hukum Adat dan Hukum Nasional
Penerapan adat Seda’ di Kecamatan Bonehau sangat berkaitan dengan siri’. Siri’ mengandung tiga makna, yang pertama adalah rasa malu, yang kedua merupakan semangat untuk menghancurkan siapa saja yang telah menyinggung kehormatan seseorang, dan yang ketiga adalah sebagai dorongan untuk bekerja dan berusaha sebaik mungkin.
Adat dan siri’ merupakan satu kesatuan dalam masyarakat Kabupaten Mamuju, terutama di Kecamatan Bonehau. Siri’ bagi masyarakat di Kecamatan Bonehau adalah fondasi moralitas adat, apabila seseorang melakukan perilaku yang menyimpang, baik dari sudut pandang adat yang mendasarkan pada penguatan harga diri masyarakat setempat. Karakter yang keras adalah salah satu ciri khas masyarakat di Kecamatan Bonehau. Masyarakat di kecamatan Bonehau, ketika dirinya merasa tersinggung, mereka memilih untuk berjuang hingga mati daripada hidup tanpa siri’.
Adat Seda’ dilakukan ketika kedua pasanagn yang melakukan kawin lari melanggar aturan adat di Bonehau. Jika mereka pulang kerumah tetapi tidak ada itikad baik untuk men-sahkan pernikahan, maka sanksi adat Seda’ akan diterapkan bagi mereka bertemu dengan pihak keluarga. Hukuman Seda’ berupa sanksi non-fisik. Sanksi non-fisik berupa penghinaan dan diusir dari kampung mereka, juga bisa jadi denda berupa sapi, babi, kerbau, dan ayam. Bisa juga mendapatkan sanksi penganiayaan, hingga pembunuhan jika pelanggarannya sudah dinilai sangat berat. Penerapan sanksi adat Seda’ seperti itu, masih dianggap wajar oleh masyarakat Bonehau.
Siri’ merupakan kebanggaan dan harga diri yang telah diwariskan oleh leluhur untuk menjunjung tinggi adat istiadat yang. Kuatnya siri’ yang dimiliki oleh masyarakat di Kecamatan Bonehau terlihat pada harkat dan martabatnya yang apabila dilanggar oleh orang lain, orang lain yang dilanggar harkat dan martabatnya tersebut akan berbuat apa saja untuk membalas dendam dan memperbaiki nama keluarganya di tengah masyarakat.
Adat Seda’ tidak pandang perbuatan karena sengaja (dolus) atau kelalaian (culpa), melainkan dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut yaitu rasa malu. Penerapan adat Seda juga hanya diterapkan pada delik yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat setempat dan atau bertentangan dengan kepentingan pribadi seseorang atau kelompok, yaitu delik silariang.
Baca juga: Memotret Diskriminasi Masyarakat Adat
Menurut hukum pidana adat perorangan, keluarga atau kerabat yang menderita kerugian sebagai akibat kesalahan seseorang, dapat bertindak sendiri (hak menghakimi sendiri) dalam menyelesaikan dan menentukan hukuman ganti kerugian dan lain-lain terhadap pelaku yang telah berbuat salah. Adat Seda’ pada dasarnya merupakan pelaksanaan “hak mengakimi sendiri”. Di mana perorangan, keluarga atau kerabat dari pihak perempuan dapat melakukan tindakan menghakimi sendiri terhadap pihak laki-laki, hal ini karena mereka sangat tersakiti atau sangat malu (siri’) dari tindakan atau delik silariang.
Adat Seda’ diterapkan karena pihak keluarga dari mereka yang melakukan kawin lari dan menganggap bahwa tindakan kawin lari yaitu hal yang sangat memalukan. Sehingga pihak keluarga menganggapnya sebagai siri’. Melalui adat Seda’ dapat memperbaiki nama baik keluarga.
Respon (2)