Artikel

Minimnya Mekanisme Kontrol dalam Rancangan KUHAP sebagai Ancaman terhadap Prinsip Due Process of Law

208
×

Minimnya Mekanisme Kontrol dalam Rancangan KUHAP sebagai Ancaman terhadap Prinsip Due Process of Law

Sebarkan artikel ini
KUHAP

Latar Belakang

Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini sedang dilakukan oleh Komisi III DPR RI merupakan salah satu perwujudan rencana strategis pemerintah dalam hal reformasi sistem peradilan pidana Indonesia. Rancangan KUHAP tersebut tentunya menjadi harapan besar bagi aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat menggantikan KUHAP yang berlaku saat ini, yakni yang diatur pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang dianggap masih tidak memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi terduga pelaku tindak pidana dalam menghadapi proses peradilan.

Namun, pada nyatanya sejumlah ketentuan dalam rancangan KUHAP tersebut justru menimbulkan kekhawatiran terkait konsentrasi kewenangan aparat penegak hukum tanpa disertai mekanisme pengawasan yang memadai. Ketiadaan prosedur kontrol yang jelas terhadap praktik acara pidana yang dieksekusi oleh para aparat penegak hukum, memperlihatkan bahwa pembuat peraturan tidak berkaca pada penerapan KUHAP sebelumnya dengan masih lemahnya prinsip check and balance antara lembaga yang berwenang.

Baca juga: Jerat Pidana Jual Beli Nilai oleh Dosen

Standar prosedur beracara dalam Rancangan KUHAP juga dinilai masih banyak yang multitafsir dan tidak disertai tolok ukur yang objektif dalam praktiknya, sehingga draf Rancangan bakal Undang-Undang KUHAP yang telah dikeluarkan oleh Komisi III DPR RI menuai banyak kritikan dan problematika, karena dianggap kurang memperhatikan aspek fundamental yang seharusnya dapat diperbaharui dari KUHAP yang berlaku saat ini, berdasarkan pengalaman penerapannya selama 44 tahun kebelakang.

Isu Hukum

  1. Apakah substansi Rancangan KUHAP telah memenuhi prinsip due process of law dan menjamin perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam konstitusi?
  2. Bagaimanakah implikasi butir-butir pasal bermasalah pada Draf Rancangan KUHAP saat ini dalam sistem peradilan pidana Indonesia apabila telah disahkan?

Analisis

Draf Rancangan Undang-Undang KUHAP dirancang dalam memperbaiki berbagai hal yang masih dirasa kurang dalam peraturan sebelumnya, serta tidak menjamin adanya perlindungan hak asasi manusia bagi para tersangka maupun terdakwa dalam menjalani proses peradilan. Habiburokhman, ketua Komisi II DPR RI menganggap Rancangan KUHAP saat ini telah hadir dengan mekanisme kriteria yang lebih baik, demi menjamin adanya perlindungan hak-hak asasi dalam jalannya persidangan.

Namun, nyatanya justru berkebalikan terhadap hal tersebut. Wakil Ketua STHI Jentera, Asfinawati menilai rancangan ini menjadi suatu kemunduran dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, serta berpotensi melanggar hak-hak asasi dalam jalannya proses acara persidangan, sehingga tidak memenuhi adanya prinsip due process of law sesuai amanat konstitusi pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

A. Subjektivitas Penafsiran dalam Beberapa Ketentuan

Beberapa ketentuan yang diatur dalam rancangan ini memiliki kemungkinan untuk dapat ditafsirkan secara subjektif, sehingga tidak menjamin adanya kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat, serta memiliki indikasi adanya tindak abuse of power oleh aparat penegak hukum. Seperti contohnya pada ketentuan terkait syarat penahanan diatur dalam Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP dengan memperluas daftar alasan penahanan terduga pelaku tindak pidana, yang semula hanya memuat tiga alasan untuk menahan seseorang, kini menjadi sembilan alasan.

Namun demikian, beberapa alasan yang dicantumkan dalam RUU KUHAP ini justru bersifat sangat fleksibel atau karet pada penerapannya, mulai dari memberikan keterangan yang tidak sesuai fakta saat pemeriksaan; tidak kooperatif selama proses pemeriksaan; serta menghambat jalannya pemeriksaan. Frasa “menghambat proses pemeriksaan” tidak memiliki penjelasan yang jelas, sehingga sangat berpotensi ditafsirkan secara subjektif oleh penyidik. Bahkan dalam praktiknya, penyidik bahkan dapat menganggap bahwa tersangka yang meminta bantuan penasehat hukum sebagai tindakan yang menghambat pemeriksaan.

Baca juga: Apakah Tindakan Main Hakim Sendiri Dipidana?

Selain itu, alasan penahanan berupa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum acara pidana yang memberikan hak ingkar bagi tersangka atau terdakwa. Hal tersebut tidak dapat menjadi dasar melakukan penahanan yang harus berdasarkan keadaan objektif, apabila penahanan tidak dilakukan pemeriksaan akan terhambat.

B. Tidak Adanya Mekanisme Prosedur yang Jelas

RUU KUHAP juga seringkali telah memberikan kriteria yang jelas terkait berbagai hal dalam jalannya proses persidangan, namun tidak adanya standar pelaksanaan teknis yang jelas, membuat seolah-olah kriteria tersebut menjadi kabur dan membuka adanya indikasi pelanggaran hak asasi. Seperti halnya pada Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP yang mengatur terkait pemeriksaan tersangka dapat direkam CCTV atau Kamera pengawas, namun tidak diwajibkan, sehingga membuka peluang terjadinya pelanggaran hak tersangka, yang seharusnya dilindungi.

Selanjutnya, pada Pasal 31 ayat (3) juga bermasalah karena menyatakan rekaman CCTV berada dalam penguasaan penyidik, padahal seharusnya dikelola oleh lembaga independen seperti rutan Ditjenpas guna menjamin prinsip checks and balances antar lembaga penegak hukum, dikarenakan rekaman tersebut merupakan bukti yang seharusnya bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika dibutuhkan, sehingga rekaman tidak hanya dikuasai oleh penyidik, tanpa adanya prosedur pengawasan yang jelas.

Kesimpulan

Rancangan KUHAP seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pembaruan formil terhadap instrumen hukum acara pidana, tetapi sebagai langkah substantif dalam menjamin perlindungan HAM dalam sistem peradilan pidana nasional. Proses Peradilan Pidana tidak boleh berorientasi pada efektivitas penindakan, melainkan harus memastikan bahwa setiap individu diperlakukan secara adil dan setara dihadapan hukum.

Namun, secara normatif, draf rancangan KUHAP saat ini dianggap masih belum dapat mengakomodasi prinsip-prinsip perlindungan HAM. Ketidakhadiran mekanisme kontrol yang kuat terhadap tindakan aparat, serta penangkapan dan penahanan yang semakin menyiksa tersangka, menunjukkan lemahnya komitmen terhadap prinsip human Rights. Sehingga diperlukan perancangan ulang dengan menjadikan perlindungan HAM sebagai aspek fundamental.

Referensi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Astomo, P. (2018). Prinsip-Prinsip negara hukum indonesia dalam uud nri tahun 1945. Jurnal Hukum Unsulbar, 1(1), 1–12. https://doi.org/10.31605/j-law.v1i1.47.

[Rilis Koalisi] Cek Kosong pembaharuan KUHAP: 5 Alasan Ruu kuhap masih belum menjawab masalah sistemik Peradilan Pidana. image001. (2016, March 8). https://icjr.or.id/cek-kosong-pembaharuan-kuhap/.

Jayanti, H. D. (n.d.). Draf Ruu Kuhap Dinilai Mundur Dan berpotensi Langgar Ham. hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/berita/a/draf-ruu-kuhap-dinilai-mundur-dan-berpotensi-langgar-ham-lt67b8093cc8583/?page=all.

DA, A. T. (n.d.). Komisi III DPR Beberkan 7 substansi Baru Ruu Kuhap. hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/berita/a/komisi-iii-dpr-beberkan-7-substansi-baru-ruu-kuhap-lt67dc0bf5b56d9/?page=all.

Penulis

ALSA Local Chapter Universitas Airlangga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *