Apakah Pasar Modal Hanya ‘Judi Legal’?
Pasar modal selama ini digambarkan sebagai salah satu instrumen keuangan yang legal, terstruktur, dan menjadi tulang punggung perekonomian modern. Banyak orang didorong untuk menjadi investor—baik melalui pembelian saham, obligasi, reksa dana, dan sebagainya—dengan iming-iming keuntungan atau dividen yang besar. Namun ketika kita menelusuri lebih dalam, terutama dari perspektif hukum, muncul pertanyaan besar yang provokatif namun relevan: apakah pasar modal hanyalah bentuk lain dari ‘judi legal’? Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyamakan sepenuhnya antara investasi dan perjudian, melainkan untuk menyoroti ketidakpastian hukum dan ketiadaan perlindungan nyata terhadap kerugian investor, sebagaimana terjadi dalam beberapa tragedi ekonomi belakangan ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, negara sebenarnya telah menetapkan mekanisme perlindungan hukum bagi investor. Namun, bentuk perlindungan ini hanya sebatas pada pelarangan informasi yang menyesatkan, kewajiban keterbukaan informasi dari emiten, dan pengawasan melalui otoritas. Perlindungan tersebut bersifat administratif dan preventif, bukan dalam bentuk ganti rugi atas kerugian yang diderita investor akibat penurunan nilai saham atau pailitnya suatu perusahaan.
Demikian pula, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tidak ditemukan satu pasal pun yang menyatakan bahwa OJK bertanggung jawab atas kerugian investor secara langsung. OJK hanya berfungsi sebagai pengawas dan regulator, bukan penjamin atau penyelamat dana publik. Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka hukum nasional, investor sepenuhnya menanggung risiko investasi mereka sendiri, tanpa ada jaminan hukum sebagaimana yang dinikmati dalam sektor lain seperti asuransi.
Baca juga: Riba Menurut Hukum Perbankan Islam
Perbandingan paling sederhana dapat diambil dari dunia nyata: seorang pemilik mobil bisa mengasuransikan kendaraannya terhadap risiko kehilangan atau kerusakan, dan jika terjadi musibah, pihak asuransi bertanggung jawab untuk mengganti kerugian. Namun berbeda dengan investor pasar modal yang “menaruh” uangnya ke perusahaan tanpa jaminan atas masa depan aset tersebut. Ketika saham jatuh atau perusahaan bangkrut, investor tidak mendapat perlindungan atau ganti rugi apa pun. Ini menjadi sorotan tajam terutama dalam tragedi penurunan IHSG di awal tahun 2025, di mana ribuan investor mengalami kerugian besar karena penurunan nilai indeks yang signifikan. Bahkan beberapa perusahaan nyaris bangkrut, dan tidak ada bentuk perlindungan hukum langsung yang mampu mengkompensasi kerugian para investor.
Sementara itu, jika kita menelisik secara objektif, perjudian memiliki karakteristik yang serupa: menanamkan sejumlah modal dengan harapan mendapatkan imbal hasil yang lebih besar, tanpa adanya jaminan. Bahkan dalam beberapa sistem judi profesional, terdapat metode, algoritma, dan analisis yang digunakan untuk meminimalkan risiko. Maka menjadi relevan jika publik mempertanyakan, di manakah letak perbedaan prinsipil antara investasi yang dilegalkan negara dan praktik judi yang dikriminalkan? Jika keduanya sama-sama mengandung unsur spekulasi dan tidak memberikan perlindungan atas kerugian, apakah legalitas investasi hanya sebatas formalitas administratif?
Baca juga: Cerdas Secara Finansial, Strategi Investasi Pasar Modal bagi Generasi Muda di Indonesia
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali posisi hukum investor di pasar modal. Sudah saatnya ada mekanisme perlindungan yang substantif terhadap kerugian investor—baik melalui skema asuransi investasi, lembaga penjamin dana, atau kebijakan fiskal yang lebih inklusif. Pasar modal tidak boleh menjadi tempat di mana negara hanya bertindak sebagai penonton yang menyaksikan masyarakatnya menderita kerugian demi kerugian. Jika investasi terus dipromosikan tanpa perlindungan yang setara, maka label ‘judi legal’ pada pasar modal bukan hanya provokatif, tapi bisa menjadi kenyataan yang menyakitkan.