Artikel

Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

140
×

Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Sebarkan artikel ini
Perkawinan Adat

Pengertian Perkawinan Adat

Perkawinan dalam hukum adat adalah ikatan antara perempuan dan laki-laki yang mengakibatkan terjadinya ikatan lebih luas, yakni terhadap keluarga perempuan dan laki-laki serta masyarakat lainnya. Berdasarkan hukum adat, terdapat tiga sistem perkawinan adat, yaitu:

  • Endogami

Endogami adalah sistem yang mengharuskan seseorang menikah dengan anggota dari suku keluarganya sendiri dan jarang diterapkan di Indonesia. Van Vollenhoven mencatat bahwa hanya daerah Toraja yang menerapkan sistem ini.

Jika hubungan dengan daerah lain menjadi lebih mudah dan erat, sistem endogami mungkin akan ditinggalkan, terutama karena sifat susunan kekeluargaan di daerah ini adalah Parental.

  • Exogami

Exogami pada perkawinan adat mengharuskan seseorang menikah dengan anggota dari suku lain, dan melarang pernikahan dengan suku sendiri. Larangan ini hanya berlaku dalam lingkungan yang sangat kecil dan dapat ditemukan di daerah Alas, Gayo, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Seram, dan Buru.

  • Eleutherogami

Sistem ini tidak memiliki kewajiban atau larangan khusus, kecuali larangan pernikahan yang berkaitan dengan ikatan keluarga dekat. Larangan ini meliputi menikah dengan ibu, anak kandung, cucu, nenek, saudara kandung, saudara ibu atau bapak, ibu tiri, anak tiri, dan mertua. Sistem Eleutherogami diterapkan luas di masyarakat Indonesia.

Baca juga: UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Urgensinya

Hubungan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 dengan Hukum Perkawinan Adat

  • Asas perkawinan

Dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan, bahwa:

“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami“.

Pasal ini menjelaskan monogami pada pernikahan secara umum, yakni asas yang mengatur agar seorang laki-laki hanya hanya menikahi seorang perempuan dan sebaliknya dalam waktu yang sama. Asas tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 27 KUH Perdata. Maka, tujuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019  dan  hukum perkawinan adat memiliki persamaan.

  • Syarat sah pernikahan

Pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perkawinan memiliki syarat sah sebagai berikut:

  1. Catin perempuan bersedia dipinang oleh catin laki-laki.
  2. Kedua catin tidak tengah terikat pada hubungan perkawinan.
  3. Catin yang belum berusia 21 tahun harus memperoleh izin melangsungkan pernikahan dari orang tua.
  4. Ketentuan calon pengantin adalah berumur 19 tahun.
  5. Tidak menikah atau bercerai untuk kedua kalinya.
  6. Selain itu, terdapat syarat formal yang terpat pada Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Pasal 3,4,5,6,7,8 dan 9.

Faktor Penyebab Masyarakat Melakukan Perkawinan Adat

Perkawinan adat merupakan hal penting bagi masyarakat. Pernikahan harus dibangun berlandaskan adat istiadat dan norma dalam masyarakat sesuai daerah masing-masing.

Dalam membentuk rumah tangga tentunya dilakukan dengan peran antara laki-laki dan perempuan atau suami-istri. Pasangan suami-istri harus saling menjalankan kewajiban dan hak masing-masing supaya tujuan perkawinan yang diharapkan dapat tercapai.

Baca juga: Hukum Perceraian dalam Islam

Perkawinan menjadi masa peralihan yang dialami oleh remaja dalam kehidupannya menuju tingkat kehidupan berkeluarga. Hal tersebut dipercayai oleh masyarakat dengan berbagai latar budaya dan adat yang berbeda. Meskipun kebudayaan dari setiap periode mengalami perubahan dan pergeseran dan mulai digantikan dengan sistem baru. Berikut ini unsur-unsur pokok kebudayaan, yakni:

  1. Perlengkapan dan peralatan kehidupan (tempat tinggal, pakaian, transportasi, perabotan rumah tangga, peralatan produksi,  dan lainnya).
  2. Pekerjaan dan sistem perekonomian (peternakan, pertanian, sistem distribusi, sistem produksi, jual-beli dan lainnya).
  3. Struktur masyarakat (perkawinan, kekerabatan, sistem hukum dan organisasi perpolitikan).
  4. Bentuk pengetahuan dalam kehidupan.
  5. Agama dan kepercayaan (sistem kepercayaan).
  6. Bahasa untuk kehidupan bermasyarakat (lisan dan tertulis).
  7. Seni dalam kehidupan (seni gerak, seni rupa, seni suara dan lainnya).

Perkawinan adat yang berbeda baik secara suku, agama dan lainnya memiliki tata tertib yang perlu diperhatikan, demi menciptakan rumah tangga yang diharapkan. Suatu daerah mempunyai suku dengan corak yang tidak serupa  Di sisi lain, suku-suku tersebut mempunyai kebudayaan yang tidak sama berdasarkan lingkungannya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya perkawinan adat, yakni:

Baca juga: Pengacara

  1. Ikatan yang tidak direstui orang tua.
  2. Cerai hidup.
  3. Pernikahan beda agama serta kepercayaan.
  4. Perekonomian.
  5. Terjadinya pergaulan bebas.

Referensi

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Laksanto Utama, Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Pers. 2016.

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Ratna D.E Sriat, Legalitas Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, No.1, Vol. 2, 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *