Artikel

Tradisi Merarik di Lombok: Antara Tradisi Adat dan Hukum Negara

120
×

Tradisi Merarik di Lombok: Antara Tradisi Adat dan Hukum Negara

Sebarkan artikel ini
Merarik

Tradisi Merarik di Lombok

Pulau Lombok yang dikenal dengan keindahan alam dan budayanya yang sangat beragam dan masih kental. Suku Sasak, adalah suku asli yang mendiami Pulau Lombok yang mayoritasnya beragama islam serta memegang teguh nilai-nilai budaya. Suku ini memiliki sebuah tradisi pernikahan unik yang disebut dengan ’Merarik’. Secara etimologis, merarik sendiri berasal dari lari dalam bahasa suku Sasak. Selain merarik ada juga kata merarinang yang dalam bahasa Indonesia berarti melarikan.

Oleh karena itu, merarik dalam bahasa Indonesia berarti kawin lari. Seperti artinya,tradisi ini melibatkan penculikan terhadap mempelai perempuan oleh pihak laki-laki sebagai proses untuk menuju pernikahan. Bagi masyarakat Sasak, merarik merupakan bagian sakral dari rangkaian adat istiadat yang melambangkan keberanian, kehormatan, dan keseriusan niat untuk menikahi seorang perempuan.

Baca juga: Ritual Dolop dalam Perspektif Magis Religius dan Homo Religius: Penyelesaian Kasus Pembunuhan dalam Hukum Adat Suku Dayak

Namun sayang, dalam praktiknya ’merarik’ kerap menimbulkan perdebatan karena bertabrakan dengan norma-norma hukum negara. Adanya kasus-kasus yang terjadi dimana perempuan dibawa kabur tanpa sepengetahuan keluarga, atau bahkan ketika usia perempuan masih dibawah umur menjadi sorotan. Hal ini yang kemudian menimbulkan ketegangan antara pelestarian tradisi adat dan penerapan hukum positif yang ada di Indonesia.

Merarik dalam Perspektif Hukum Adat

Tradisi merarik merupakan wujud kearifan lokal yang masih dilestarikan. Tradisi ini digunakan sebagai bukti keberanian seorang laki laki pada calon istri dan keluarganya sebelum perkawinan. Dalam teori hukum adat yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, hukum adat merupakan aturan-aturan hidup yang tumbuh, hidup, dan dihormati oleh masyarakat secara turun temurun. Tradisi merarik merupakan bagian dari hukum adat yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Ketika seorang gadis di ’merarik’, maka kedua keluarga akan duduk bersama dan bermusyawarah untuk menentukan masa depan pasangan tersebut. Jika kesepakatan tercapai, maka proses pernikahan dapat dilanjutkan. Bersamaan dengan Ter Haar dalam teorinya beslissingenleer menyatakan bahwa keputusan dalam hukum adat tidak berdasarkan pada pasal-pasal, tetapi pada konsensus masyarakat adat itu sendiri. Oleh karena itu, selama suatu perbuatan diterima dan disahkan oleh masyarakat adat, maka perbuatan tersebut dianggap sah oleh hukum adat.

Merarik dalam Perspektif Hukum Negara

Yang menjadi persoalan utama dalam tradisi merarik ini adalah ketika salah satu pihak masih di bawah umur. Dalam hukum positif kita, mengatur secara tegas batas usia pernikahan, perlindungan terhadap anak, dan tindak pidana seperti penculikan. Undang-Undang No. 16 tahun 2019 sebagai revisi dari Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa usia minimal pernikahan adalah 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Selain itu, dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak menegaskan larangan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi, atau tindakan yang membahayakan anak dibawah umur.

Dalam hal ini, negara melihat tindakan membawa lari anak dibawah umur sebagai pelanggaran hukum, meskipun secara adat telah disetujui. Negara berkeajiban untuk melindungi hak-hak anak dan mencegah terjadinya pernikahan dini yang dapat berakibat buruk bagi masa depan anak.

Harmonisasi antara Hukum Adat dan Hukum Negara

Hubungan antara Hukum Adat dan Hukum positif di Indonesia telah diakui di dalam konstitusi, yakni dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan pekembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa pengakuan ini bersifat bersyarat. Tradisi Merarik tetap harus tunduk pada prinsip -prinsip perlindungan  yang dijunjung oleh negara.

Sebagai titik tengah, diperlukan adanya pendekatan harmonis antara hukum adat dan hukum negara. Pemerintah Daerah, tokoh adat, dan lembaga hukum perlu bermusyawarah untuk merumuskan pedoman sehingga pelaksanaan tradisi adat seperti ’merarik’ dapat terlaksana tanpa melanggar hukum negara. Misalnya, penetapan usia minimal dan keharusan persetujuan orangtua sebagai syarat untuk melaksanakan tradisi tersebut, sehingga tradisi ini dapat terus dijalankan tanpa kehilangan esensi budayanya.

Baca juga: Teori Living Law: Ninja Sawit di Rokan Hulu Diarak Keliling Kampung

Tantangan hukum

Beberapa tantangan hukum yang dihadapi dalam praktik merarik dilihat dari perspektif antara hukum adat dan negara, diataranya yaitu:

Ketidaksesuaian dengan batas usia perkawinan dalam hukum nasional

Merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh tradisi ini. Berdasarkan Undang-Undang no. 16 Tahun 2019, usia minimal untuk melakukan pernikahan adalah 19 tahun. Namun dalam praktik adat, usia bukan menjadi syarat mutlak. Jika pasangan telah dinilai telah siap secara sosial maka hal tersebut dapat dilakukan. Hal ini membuat merarik rentan melanggar hukum negara.

Potensi kriminalisasi pelaku ’Merarik’

Dalam hukum pidana di Indonesia mengatur bahwa membawa lari seorang tanpa izin orangtua dan masih dibawah umur, dapat dikateegorikan sebagai penculikan (Pasal 332 KUHP). Akibatnya, pelaku merarik dapat dikenakan sanksi pidana, meskipun berniat hanya untuk melaksanakan pernikahan adat. Hal ini menjadi dilema, karena pelaku yang dianggap tidak bersalah menurut adat, tetapi salah dimata hukum negara.

Kurangnya kesadaran hukum di tingkat masyarakat adat

Banyak masyarakat adat yang masih melihat hukum negara sebagai entitas luar yang ”tidak mengerti budaya lokal”. Hal ini dikarenakan minimnya sosialiasi hukum mengenai hak anak dan usia legal perkawinan. Ketidaktahuan ini menimbulkan kasus hukum yang seharusnya bisa dicegah dengan cara edukasi hukum.

Kesimpulan

Tradisi ’Merarik’ mencerminkan kekayaan budaya hukum adat masyarakat Sasak yang telah berlangsung turun menurun. Namun, tradisi ini dihadapkan dengan berbagai tantangan hukum terutama ketika berbenturan dengan norma hukum negara. Agar tradisi ini tetap bisa dijalankan tanpa melanggar hukum, perlu adanya kerja sama antara pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat. Dengan memastikan usia calon mempelai sudah cukup dan adanya persetujuan orangtua maka tradisi ini dapat tetap dilaksanakan tanpa melanggar hukum negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *