Opini

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kejahatan Lingkungan: Mewujudkan Prinsip Strict

277
×

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kejahatan Lingkungan: Mewujudkan Prinsip Strict

Sebarkan artikel ini
Korporasi

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kejahatan Lingkungan

Ada satu kenyataan pahit yang sulit saya abaikan ketika bicara soal lingkungan: bumi ini tengah sakit, dan salah satu pelaku utamanya justru adalah korporasi. Industri tambang, perkebunan sawit, hingga pabrik kimia kerap kali muncul dalam berita sebagai pihak yang mencemari sungai, merusak hutan, dan merampas hak hidup masyarakat sekitar. Ironisnya, ketika kerusakan sudah terjadi, proses hukum yang ditempuh sering kali berujung pada kebuntuan atau penyelesaian yang tidak setimpal.

Yang mengganggu pikiran saya adalah pendekatan hukum yang terlalu fokus pada mencari niat jahat atau kelalaian dalam tindakan korporasi. Seolah-olah, bila tidak bisa dibuktikan bahwa perusahaan “bermaksud jahat”, maka pencemaran sebesar apapun bisa dimaklumi. Di sinilah saya merasa hukum kehilangan roh keadilannya, dan muncul kebutuhan untuk membicarakan satu pendekatan yang mungkin bisa jadi jalan keluar: prinsip strict liability.

Baca juga: Hukum Lingkungan dalam Pembangunan

Konsep dan Prinsip Strict Liability

Strict liability—sebuah konsep yang mungkin terdengar teknis, tapi sebetulnya sangat membumi. Intinya sederhana: jika suatu kegiatan berisiko tinggi dan ternyata menyebabkan kerusakan lingkungan, maka pelaku kegiatan itu—dalam hal ini korporasi—bertanggung jawab, tanpa perlu dibuktikan apakah mereka sengaja atau lalai.

Prinsip ini lahir dari kesadaran bahwa dalam urusan lingkungan, dampaknya terlalu luas dan kerugiannya terlalu besar jika hanya dikejar dengan logika “salah atau tidak salah”. Seorang ahli hukum lingkungan, Philippe Sands, pernah menyatakan bahwa, “Environmental harm cannot always be traced to moral culpability, but responsibility must nonetheless follow from causation.” Artinya, dalam konteks keadilan ekologis, cukup dengan menunjukkan hubungan sebab-akibat antara tindakan korporasi dan kerusakan lingkungan.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Australia telah mengadopsi prinsip ini dalam sistem hukumnya, terutama untuk kegiatan berisiko tinggi seperti penambangan, pengeboran minyak, atau penggunaan bahan kimia berbahaya. Di sana, perusahaan tidak bisa berlindung di balik dalih tidak tahu atau tidak sengaja. Ada semacam kesadaran kolektif bahwa pencegahan lebih penting daripada pembenaran.

Kerangka Hukum di Indonesia

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Saya mencoba menelusuri Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Ternyata, secara normatif, prinsip strict liability sudah dikenal. Pasal 88 UU PPLH menyebut bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung kerugian yang ditimbulkan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Namun, pengakuan normatif saja tidak cukup. Dalam praktiknya, sering kali prinsip ini tak berjalan sebagaimana mestinya. Saya menemukan beberapa putusan pengadilan yang masih menuntut pembuktian kelalaian, bahkan ketika sudah jelas terjadi tumpahan limbah atau kebakaran hutan akibat ulah perusahaan. Di sinilah letak paradoksnya—aturan sudah ada, tapi implementasinya tersendat.

Saya tidak menutup mata bahwa menerapkan strict liability di Indonesia bukan perkara mudah. Ada banyak tantangan yang mengadang. Pertama, dari sisi pembuktian, meskipun tidak mensyaratkan kesalahan, tetap saja dibutuhkan alat bukti ilmiah yang kuat untuk membuktikan bahwa suatu kerusakan berasal dari aktivitas perusahaan tertentu. Dan ini bukan tugas ringan, terutama di daerah terpencil atau ketika lembaga lingkungan minim sumber daya.

Kedua, saya juga mencatat adanya intervensi kekuasaan yang menghambat proses hukum. Ketika perusahaan memiliki kedekatan dengan elite atau menyumbang besar ke pendapatan daerah, maka penegakan hukum bisa mandek di tengah jalan. Ketiga, sanksi yang dijatuhkan sering kali tidak proporsional dengan kerusakan yang terjadi. Denda ringan, peringatan administratif, atau kompensasi minimal menjadi gambaran umum, padahal kerusakan ekologis yang ditimbulkan bisa bertahan puluhan tahun.

Baca juga: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Secara Hukum

Reformasi Kebijakan

Dalam kondisi seperti ini, yang saya pikirkan adalah bagaimana menghidupkan kembali prinsip strict liability sebagai instrumen yang benar-benar bisa diandalkan. Pertama, perluasan penerapan prinsip ini penting, tidak hanya untuk kasus kebakaran hutan atau limbah berbahaya, tapi juga untuk aktivitas industri lain yang berdampak jangka panjang terhadap lingkungan.

Kedua, lembaga pengawas lingkungan seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu diperkuat secara kelembagaan dan anggaran. Mereka butuh dukungan teknologi, SDM, dan kemandirian untuk bisa menindak tanpa tekanan politik atau ekonomi.

Ketiga, saya percaya bahwa sanksi hukum yang efektif bukan hanya soal pidana penjara, tapi juga denda yang berat, pencabutan izin, serta kewajiban pemulihan lingkungan yang benar-benar dijalankan. Di sinilah sanksi administratif, perdata, dan pidana harus berjalan beriringan.

Bagi saya, penerapan prinsip strict liability bukan sekadar pilihan hukum, melainkan kebutuhan moral dan ekologis. Lingkungan hidup yang rusak tidak bisa menunggu logika pembuktian yang rumit dan memakan waktu. Ketika korporasi bisa bertindak tanpa ancaman hukum yang tegas, maka keadilan lingkungan akan selalu jadi narasi kosong.

Saya percaya bahwa keadilan yang tidak menempatkan alam sebagai subjek perlindungan adalah keadilan yang timpang. Dan bila kita masih menunda untuk benar-benar menerapkan tanggung jawab korporasi dalam kejahatan lingkungan, maka kita sedang mewariskan krisis yang lebih dalam kepada generasi mendatang.

Respon (1)

  1. ketika bicara soal lingkungan, bumi ini memang lagi sakit, dan bukan hanya pelakunya adalah Industri tambang, perkebunan sawit, akan tetapi kita semua yang sadar atau tidak sadar mencemari sungai, merusak hutan, merampas hak hidup masyarakat sekitar dan merampas hak hidup masyarakat yang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *