Pada minggu ini sedang ramai dibicarakan mengenai Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau bisa disebut juga RUU TNI. Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU ini mulai berlaku pada 16 Oktober 2004 yang mengatur Ketentuan Umum, Jati Diri, Kedudukan, Peran, Fungsi dan Tugas, Postur dan Organisasi, Pengertian dan Penggunaan Kekuatan TNI, Prajurit, Pembiayaan, Hubungan Kelembagaan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. UU ini menjadi awal mulanya TNI berdiri sendiri di bawah Presiden dan di bawah naungan Kementerian Pertahanan dan terpisah Tupoksinya dengan POLRI, namun ditengah berjalannya Pemerintahan saat ini ada isu yang menjadi ancaman karena sudah masuk dalam pembahasan rapat di DPR RI.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.
RUU TNI ini dirasa terlalu terburu buru, karena ditargetkan selesai sebelum Libur Lebaran, dan pembahasan mengenai RUU TNI ini hanya 1 bulan. Sebenarnya apa yang menjadi Urgensi apa yang menyebabkan pembahasan RUU TNI harus dilakukan secara tertutup di hotel dan terkesan terburu-buru?
Baca juga: Memotret Diskriminasi Masyarakat Adat
Prosedur penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) tidak menunjukkan democratic law making, tapi sebaliknya justru memperlihatkan abusive law making. Penyusunan RUU TNI ini tidak melihat asas keperluan atau kebutuhan, tetapi hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Hal ini dibuktikan dengan rapat pembahasan yang tertutup di hotel dan mengesampingkan kepentingan umum Rakyat Indonesia.
Ada Tiga Poin yang menjadi Pokok Utama pembahasan mengenai RUU TNI ini yang mana ada pada Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pasal 3 mengatur soal kedudukan TNI yang berada di bawah presiden dalam perkara pengerahan dan pengunaan kekuatan dan militer; dan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal kebijakan dan strategi serta dukungan administrasi. Pada pasal ini yang direvisi hanya pada ayat (2) nya saja yakni penambahan frasa “berkaitan dengan perencanaan strategis”.
Pasal 47 Perluasan keterlibatan TNI dalam instansi sipil. Sebenarnya dalam Pasal 47 UU TNI, para prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Namun, dalam draf revisi, instansi yang bisa mereka rambah bertambah lima, menjadi 15 institusi. Pada poin ini yang menjadi kekhawatiran Masyarakat luas karena dikhawatirkan menimbulkan Trauma Militerisme pada era Orde Baru, yang Dimana supremasi sipil tetap harus dikedepankan. Saya mengambil contoh pada penambahan Jabatan Sipil yang bisa dijabat oleh militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sudah jelas tidak ada konektivitas antara militer dengan KKP ini, kemudian di bidang Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Terorisme dengan dalih agar Koordinasinya lebih mudah, Mengapa tidak dibuat saja aturan mengenai tata kelola hubungan kerja antar lembaga supaya tujuan yang pemerintah inginkan terlaksana, bukan justru menempatkan militer aktif disana.
Saya lebih sepakat apabila Jabatan sipil yang bisa diduduki TNI / Militer aktif dikurangi bukan malah ditambah seperti yang ada dalam RUU TNI tersebut. Pada hakikatnya dwifungsi militer sendiri adalah Ketika militer aktif menduduki jabatan sipil itu, Sedangkan menurut saya dwifungsi militer adalah perluasan jabatan jabatan sipil bagi militer aktif tersebut.
Hal hal seperti ini yang perlu kita kritisi jika perlahan RUU TNI sampai disahkan bukan tidak mungkin kejadian seperti tahun 1990-an bakal terulang Kembali Ketika Bupati, Gubernur terpilih berasal dari milter aktif, ini akan memperkecil ruang Gerak Politik di Negeri ini.
Baca juga: Pinter Hukum
Menurut saya, keberadaan dwifungsi TNI dapat menimbulkan campur tangan militer dalam urusan sipil. Jika ini terjadi, maka ada potensi banyak penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Profesionalisme militer harus ditegakkan demi memastikan bahwa TNI tetap terfokus pada tugas-tugas militernya yang utama, yakni mempertahankan dan melindungi kedaulatan negara, bukan ikut campur urusan sipil.
Pasal 53 terkait dengan perubahan batas usia pensiun, dalam draft RUU TNI usia pensiun perwira TNI paling tinggi 60 tahun. Sementara untuk bintara dan tamtama adalah 58 tahun. Bahkan untuk perwira bintang 4 batas usia pensiunnya berdasarkan kebijakan Presiden, dan perwira pada jabatan fungsional bisa sampai usia 65 tahun.
Mengapa perwira bintang 4 pensiun berdasarkan kebijakan Presiden? Disini saja sudah cukup menjelaskan bahwa tidak ada persamaan dan kepastian hukumnya.
Ini juga menjadi titik poin penting, Ketika negara akan lebih banyak menghabiskan anggaran pengeluaran pengeluaran rutin daripada memodernisasi alutsistanya. Kita lihat saja negara maju sudah mulai gencar memodernisasi alutsistanya, tetapi justru kita memperbanyak pngeluaran rutin untuk tunjangan dan keperluan lain-lain untuk para tentara yang ditambah masa dinasnya.
Saya lebih setuju jika masa pensiun TNI itu tetap saja seperti semula, dan anggaran untuk pemeliharan rutin tentara aktif yang diperpanjang masa dinasnya itu dipindah untuk mempebarui alutsista ditubuh TNI sendiri.
Sebaiknya RUU TNI jangan sekedar mengutamakan militer menduduki jabatan sipil dan menaikan batas usia pensiun, tapi harus selaras mandat konstitusi. Justru yang menjadi urgensi saat ini yang harus ditindaklanjuti sekarang adalah merevisi UU Peradilan Militer seperti yang dimandatkan pada UU TNI. Revisi peradilan militer penting untuk profesionalisme dan mengakhiri sumber impunitas hukum yang ada di TNI.
Respon (1)