Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membatalkan sejumlah frasa dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang dianggap menghalangi terwujudnya partisipasi bermakna dalam proses legislasi di DPR. Permohonan ini diajukan karena Pasal 96 Ayat (3) UU P3 membatasi hak partisipasi hanya pada pihak yang terdampak langsung atau memiliki kepentingan terhadap materi yang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU). Bahkan, dalam penjelasannya, pasal ini lebih membatasi lagi dengan mewajibkan partisipasi hanya dari pihak yang terdaftar di kementerian yang berwenang.
Pemohon, PT Pinter Hukum Indonesia dan Iham Fariduz Zaman, menilai frasa “Terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan” dalam pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI 1945 yang menjamin hak partisipasi masyarakat. Mereka berpendapat bahwa pembatasan tersebut melanggar hak pihak-pihak yang peduli terhadap masalah yang dibahas dalam RUU untuk ikut berpartisipasi dalam proses legislasi, meskipun mereka tidak terdampak langsung. Menurut kuasa hukum pemohon, Mohamad Qusyairi, pembatasan ini menghalangi kelompok masyarakat yang tidak terdampak langsung atau tidak memiliki kepentingan langsung terhadap materi suatu RUU, padahal mereka bisa saja memiliki perhatian penting terhadap substansi RUU tersebut yang berkaitan dengan demokrasi konstitusional.
Baca juga: Pelaksanaan Partisipasi Bermakna Belum Sesuai Putusan MK
Qusyairi juga mencontohkan beberapa undang-undang yang dianggap minim partisipasi masyarakat, seperti UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), UU Kementerian Negara, dan UU Keimigrasian. Ia menilai Pasal 96 Ayat (1) UU No 13/2022 memberikan hak partisipasi seluas-luasnya, namun Pasal 96 Ayat (3) justru membatasinya. Akademisi, aktivis, mahasiswa, dan praktisi, meskipun tidak terdampak langsung, sering kali aktif mengadvokasi atau menentang RUU yang dianggap bermasalah secara konstitusional.
Di sisi lain, bagian penjelasan pasal yang mengharuskan pihak yang berpartisipasi terdaftar di kementerian yang berwenang juga dianggap bermasalah. Banyak kelompok masyarakat yang tidak terstruktur formal, seperti paguyuban, yang tidak dapat memenuhi persyaratan ini meskipun mereka memiliki kepedulian terhadap substansi yang dibahas. Kuasa hukum lainnya, Asip Irama, mengkritik pembatasan ini yang hanya mengakomodasi kelompok masyarakat yang memiliki struktur kelembagaan formal.
Namun, Hakim Konstitusi Arief Hidayat berpendapat bahwa MK sebenarnya sudah membuka partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam putusan sebelumnya. Dalam pandangannya, partisipasi yang dimaksudkan dalam putusan MK sangat luas, mencakup siapa saja yang memberikan masukan, bukan hanya mereka yang terdampak atau memiliki kepentingan langsung. Arief juga menekankan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi, partisipasi tidak lagi memerlukan rapat tatap muka yang konvensional, tetapi bisa dilakukan secara online melalui platform seperti situs DPR atau pemerintah, yang memungkinkan masyarakat lebih mudah memberikan masukan.
Baca juga: RUU TNI: Demi Kepentingan Umum atau Kepentngan Kelompok?
Arief mengingatkan bahwa jika permohonan ini diterima, justru akan membatasi siapa saja yang dapat berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang. Sebab, pengertian partisipasi bermakna saat ini sudah sangat luas. Sementara itu, Ketua Sidang Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk memperbaiki legal standing permohonannya. Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki berkas permohonan sebelum sidang lanjutan dilakukan.
Respon (1)