Artikel

Efektivitas Hukum Adat dalam Kasus Kesusilaan di Buton Tengah: Antara Keadilan dan Harmoni Sosial

233
×

Efektivitas Hukum Adat dalam Kasus Kesusilaan di Buton Tengah: Antara Keadilan dan Harmoni Sosial

Sebarkan artikel ini
Hukum adat

Di berbagai pelosok Indonesia, hukum adat masih menjadi pegangan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Prinsip-prinsip turun-temurun tetap dijunjung tinggi, seolah menjadi fondasi utama dalam menjaga keseimbangan sosial. Namun, di sisi lain, negara dengan sistem hukumnya yang lebih formal juga hadir untuk menjamin keadilan yang lebih luas.

Kasus kesusilaan di Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, pada 8 Agustus 2024 menjadi salah satu contoh bagaimana kedua sistem hukum ini berjalan berdampingan atau mungkin bertabrakan. Seorang pria berinisial AD tertangkap mengintip seorang gadis berusia 18 tahun yang sedang mandi, sebuah tindakan yang jelas melanggar norma kesusilaan (Detik.com, 2024).

Dalam sistem hukum nasional, perbuatan semacam ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana dan diancam dengan hukuman yang cukup berat. Namun, masyarakat Buton Tengah memilih jalur yang berbeda. Mereka tidak berbondong-bondong ke kantor polisi, tidak menyusun laporan yang panjang, apalagi menunggu proses hukum yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Sebaliknya, kasus ini diselesaikan melalui mediasi adat, di mana tokoh masyarakat dan pihak terkait bermusyawarah untuk mencapai keputusan yang dianggap adil bagi semua pihak.

Baca juga: Memotret Diskriminasi Masyarakat Adat

Keputusan ini pun menimbulkan pertanyaan yang lebih besar: Apakah penyelesaian berbasis hukum adat cukup untuk memberikan keadilan? Apakah ia bisa menggantikan peran hukum negara? Atau justru seharusnya kedua sistem ini saling melengkapi?

Hukum Adat: Harmoni atau Impunitas?

Penyelesaian hukum adat di Buton Tengah dilakukan melalui musyawarah adat, di mana para tetua kampung dan tokoh masyarakat berkumpul untuk mencari solusi yang dianggap paling bijak. Setelah AD mengakui kesalahannya, ia dijatuhi tiga bentuk sanksi:

  • Denda adat berupa pemberian sejumlah uang atau barang sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.
  • Permintaan maaf terbuka dilakukan di hadapan masyarakat sebagai bentuk pemulihan nama baik korban.
  • Sumpah adat pelaku bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatannya, dengan ancaman konsekuensi sosial yang lebih berat jika melanggar.

Penyelesaian ini berakar pada prinsip Binci-Binciki Kuli, filosofi hukum adat Buton yang bermakna “mencubit orang lain sama dengan mencubit diri sendiri.” Di dalamnya terkandung ajaran bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan harus dihadapi dengan introspeksi dan pemulihan sosial, bukan sekadar hukuman yang bersifat menghukum semata.

Dari sudut pandang komunitas, pendekatan ini memiliki keunggulan tersendiri: penyelesaian terjadi secara cepat, tanpa biaya tinggi, dan tidak meninggalkan luka sosial yang berkepanjangan. Namun, pertanyaannya adalah apakah pendekatan ini cukup memberikan efek jera? Apakah ia benar-benar mampu melindungi korban?

Ketika Teori Hukum Adat Berbicara

Dalam dunia akademik, pendekatan hukum adat ini bukanlah sesuatu yang baru. Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat terkenal, mengemukakan konsep Rechtgemeenschap, yaitu gagasan bahwa masyarakat adat memiliki sistem hukumnya sendiri yang tumbuh dari norma-norma lokal (Vollenhoven, 1901). Dalam banyak kasus, sistem ini terbukti efektif dalam menjaga ketertiban sosial tanpa perlu intervensi negara.

Namun, di sisi lain, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan. Jika hukum adat hanya berfokus pada rekonsiliasi sosial, bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah keadilan bisa diukur dari harmoni komunitas semata?

Menurut Ter Haar (1948), hukum adat bersifat beslissingstheorie, di mana keabsahan hukum adat terletak pada keputusan yang diambil oleh pemuka adat. Keputusan tersebut bisa berbeda-beda tergantung nilai-nilai lokal. Inilah yang menjadi dilema, karena dalam beberapa kasus, penyelesaian adat dapat lebih berpihak kepada pelaku dibandingkan korban.

Lebih lanjut, teori Pluralisme Hukum (Griffiths, 1986) menjelaskan bahwa keberadaan hukum adat dan hukum negara memang sah berdampingan. Tetapi, pertanyaannya bukan hanya tentang keberadaan keduanya, melainkan mana yang seharusnya lebih dominan dalam kasus-kasus tertentu. Apakah kasus kesusilaan seperti ini sebaiknya diselesaikan secara adat, ataukah harus masuk ke ranah hukum pidana?

Dalam konteks keadilan bagi korban, Komnas Perempuan (2021) menyoroti bahwa penyelesaian berbasis hukum adat sering kali menekan korban untuk menerima keputusan yang lebih menguntungkan komunitas daripada dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah penyelesaian yang bertumpu pada harmoni sosial benar-benar memenuhi standar keadilan substantif?

Hukum Negara: Solusi atau Beban?

Jika kasus ini ditangani oleh hukum negara, maka pelaku dapat dijerat dengan:

  • Pasal 281 KUHP – tentang perbuatan melanggar kesusilaan di tempat umum, dengan ancaman 2 tahun 8 bulan penjara.
  • Pasal 289 KUHP – tentang pencabulan, yang dapat dikenakan hukuman hingga 9 tahun penjara jika terdapat unsur kekerasan atau paksaan.

Dari sudut pandang hukum pidana, ini adalah pendekatan yang lebih tegas dan memberikan efek jera yang lebih jelas. Namun, dalam praktiknya, sistem peradilan formal juga memiliki tantangannya sendiri. Proses hukum yang panjang, biaya yang tidak sedikit, serta risiko reviktimisasi bagi korban sering kali membuat masyarakat enggan menempuh jalur ini (Fajri, 2023).

Baca juga: Hukum adat

Lalu, mana yang lebih baik? Hukum adat yang cepat tetapi berpotensi tidak cukup adil? Atau hukum negara yang lebih tegas tetapi sering kali memberatkan korban dalam prosesnya?

Kesimpulan

Kasus di Buton Tengah tahun 2024 kembali mengingatkan kita bahwa hukum adat masih memiliki peran yang kuat dalam masyarakat, terutama dalam menyelesaikan konflik berbasis sosial dan moral. Namun, di era modern, pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah hukum adat harus dipertahankan, melainkan bagaimana hukum adat dapat beradaptasi dengan prinsip-prinsip hukum negara dan perlindungan hak asasi manusia.

Di satu sisi, hukum adat menawarkan solusi yang cepat, tidak birokratis, dan lebih diterima secara sosial. Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan, apakah kita tidak sedang membiarkan pelanggaran hukum terjadi tanpa konsekuensi yang memadai? Sebaliknya, hukum negara memang memberikan kepastian hukum dan efek jera yang lebih kuat, tetapi jika terlalu kaku, ia bisa kehilangan aspek kemanusiaan yang melekat dalam penyelesaian berbasis adat.

Maka, solusi terbaik bukanlah memilih salah satu dan mengesampingkan yang lain, tetapi mengintegrasikan hukum adat ke dalam sistem hukum nasional dengan pengawasan yang ketat. Reformasi hukum adat menjadi kebutuhan mendesak, bukan untuk menghilangkannya, tetapi agar ia tetap relevan tanpa mengorbankan keadilan bagi korban.

Pada akhirnya, keadilan bukan hanya tentang menyelesaikan konflik dengan cepat, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya secara adil dan bermartabat. Lantas, apakah hukum adat siap untuk berevolusi, ataukah kita harus mulai mempertanyakan sejauh mana ia masih layak digunakan dalam kasus-kasus yang lebih kompleks?

Referensi

com. (2024, 8 Agustus). Pria di Buton Tengah Kepergok Ngintip ABG Mandi, Kasus Berujung Damai. Diakses pada 22 Maret 2025, dari https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7492087/pria-di-buton-tengah-kepergok-ngintip-abg-mandi-kasus-berujung-damai.

Van Vollenhoven, C. (1901). Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: Brill.

Ter Haar, B. (1948). Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. Bandung: C. Van Dorp.

Griffiths, J. (1986). What is Legal Pluralism? Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 24(1), 1-55.

(2023). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Komnas Perempuan. (2021). Laporan Tahunan tentang Kekerasan Berbasis Gender. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Penulis

Divani ‘Aina Nurlita

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *