Artikel

Konflik Tanah Ulayat di Desa Adat Tanjung Sari

97
×

Konflik Tanah Ulayat di Desa Adat Tanjung Sari

Sebarkan artikel ini
Tanah ulayat

Pendahuluan

Hukum adat sebagai sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia telah menjadi bagian integral dari tatanan sosial dan budaya sejak sebelum kemerdekaan. Eksistensi hukum adat bahkan diakui secara konstitusional dalam UUD 1945, terutama melalui Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Meskipun demikian, dalam praktiknya, mengharmonisasikan hukum adat dengan sistem hukum nasional modern seringkali menimbulkan berbagai konflik dan ketegangan, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan tanah ulayat. Artikel ini akan membahas studi kasus konflik tanah ulayat di Desa Adat Tanjung Sari, sebuah desa fiktif yang merepresentasikan berbagai kasus serupa yang terjadi di berbagai wilayah adat di Indonesia, dengan menggunakan berbagai teori hukum adat sebagai kerangka analisis.

Baca juga: Upaya Perlindungan Kesakralan Tradisi Rambu Solo’ dan Ma’ Nene dari Erosi Modernitas

Latar Belakang Kasus

Desa Adat Tanjung Sari merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang terletak di pesisir barat Sumatera. Masyarakat Tanjung Sari telah mendiami wilayah tersebut sejak ratusan tahun yang lalu dan memiliki sistem hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk pengelolaan tanah ulayat. Menurut hukum adat setempat, tanah ulayat dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat dan dikelola berdasarkan prinsip kebersamaan untuk kesejahteraan bersama.

Konflik bermula ketika pada tahun 2020, Pemerintah Daerah menerbitkan izin kepada PT Sejahtera Abadi, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, untuk mengelola lahan seluas 500 hektar yang sebagian besar merupakan tanah ulayat masyarakat Tanjung Sari. Masyarakat adat merasa hak-hak mereka dilanggar karena tidak dilibatkan dalam proses pemberian izin tersebut. Sementara itu, perusahaan dan pemerintah daerah berargumen bahwa lahan tersebut merupakan tanah negara berdasarkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960.

Analisis Berdasarkan Teori-Teori Hukum Adat

Teori Receptio in Complexu (Van den Berg)

Menurut teori ini, hukum adat yang berlaku bagi masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Dalam kasus Tanjung Sari, masyarakat adat mayoritas menganut agama Islam yang dipadukan dengan adat istiadat lokal. Konsep pengelolaan tanah ulayat dalam masyarakat Tanjung Sari dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Islam tentang kepemilikan bersama dan kemaslahatan umum (maslahah mursalah).

Berdasarkan teori ini, negara seharusnya mengakui dan menghormati sistem kepemilikan tanah komunal yang dianut oleh masyarakat Tanjung Sari, terlepas dari sistem kepemilikan individual yang diatur dalam UUPA. Prinsip “hak menguasai negara” tidak boleh mengabaikan sistem kepemilikan tanah adat yang telah berlangsung secara turun-temurun.

Teori Receptie (Snouck Hurgronje)

Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat hanya berlaku jika telah diterima (diresepsi) oleh hukum agama. Dalam konteks kasus ini, perlu dianalisis apakah sistem pengelolaan tanah ulayat di Tanjung Sari telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum agama yang dianut masyarakat setempat.

Masyarakat Tanjung Sari memiliki konsep “tanah sebagai ibu” yang dianggap sakral dan tidak dapat diperjualbelikan secara bebas. Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pengelolaan sumber daya alam yang harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan kemaslahatan bersama. Dengan demikian, berdasarkan teori Receptie, sistem pengelolaan tanah ulayat di Tanjung Sari memiliki legitimasi untuk tetap dipertahankan.

Teori Receptio a Contrario (Hazairin)

Teori yang dikemukakan oleh Hazairin ini merupakan kebalikan dari teori Receptie. Menurut teori ini, hukum agama berlaku bagi pemeluknya, dan hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama. Dalam konteks masyarakat Tanjung Sari, hukum adat mengenai tanah ulayat tidak bertentangan dengan hukum Islam, sehingga tetap berlaku dan harus dihormati oleh negara.

Tindakan pemerintah daerah yang menerbitkan izin perkebunan di tanah ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam, sehingga berdasarkan teori ini, tindakan tersebut tidak memiliki legitimasi hukum.

Teori Lingkaran Konsentris (Muhammad Koesnoe)

Teori ini melihat hukum adat sebagai sistem nilai yang terdiri dari lingkaran-lingkaran konsentris, dimana nilai-nilai fundamental (inti) berada di pusat, dikelilingi oleh norma-norma dan aturan-aturan yang lebih spesifik di lingkaran luar. Nilai-nilai fundamental ini bersifat tetap, sementara aturan-aturan di lingkaran luar dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Dalam konteks Tanjung Sari, nilai fundamental tentang hubungan manusia dengan tanah sebagai sumber kehidupan merupakan inti yang tidak boleh diubah. Sementara itu, cara-cara pengelolaan tanah dapat disesuaikan dengan perkembangan ekonomi modern. Konflik dengan PT Sejahtera Abadi terjadi karena perusahaan dan pemerintah mencoba mengubah nilai fundamental tentang kepemilikan tanah, bukan hanya cara pengelolaannya.

Berdasarkan teori ini, solusi ideal adalah mengakomodasi aktivitas ekonomi modern namun tetap mempertahankan kepemilikan komunal tanah ulayat, misalnya melalui skema kemitraan yang adil antara masyarakat adat dan perusahaan.

Teori Semi-Autonomous Social Field (Sally Falk Moore)

Teori ini memandang masyarakat adat sebagai “bidang sosial semi-otonom” yang mampu menciptakan aturan sendiri namun juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Masyarakat Tanjung Sari sebagai bidang sosial semi-otonom memiliki kapasitas untuk membuat dan menegakkan aturan adat mereka sendiri, namun juga rentan terhadap intervensi dari sistem hukum negara dan tekanan ekonomi global.

Konflik yang terjadi merupakan manifestasi dari pertarungan antara hukum adat dan hukum negara dalam mengatur sumber daya yang sama. Berdasarkan teori ini, resolusi konflik harus mengakui otonomi relatif masyarakat adat dalam mengatur tanah ulayat mereka, sambil menciptakan mekanisme koordinasi dengan sistem hukum negara.

Baca juga: Memotret Diskriminasi Masyarakat Adat

Resolusi Konflik dan Pembelajaran

Setelah dua tahun konflik berkepanjangan, pada tahun 2022 Mahkamah Agung akhirnya memutuskan bahwa izin yang diberikan kepada PT Sejahtera Abadi cacat hukum karena tidak mempertimbangkan keberadaan hak ulayat masyarakat Tanjung Sari. Putusan tersebut merujuk pada Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.

Berdasarkan putusan tersebut, dinegosiasikan kesepakatan baru dimana:

  1. Kepemilikan tanah ulayat tetap berada di tangan masyarakat adat Tanjung Sari.
  2. PT Sejahtera Abadi dapat mengelola sebagian lahan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan perjanjian kemitraan yang adil.
  3. Sebagian hasil perkebunan dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat adat dan pelestarian budaya lokal.
  4. Dibentuk dewan adat-perusahaan yang bertugas mengawasi implementasi perjanjian.

Kesimpulan

Studi kasus ini menyoroti pentingnya memahami teori-teori hukum adat dalam menganalisis dan menyelesaikan konflik tanah ulayat di Indonesia. Berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli hukum adat memberikan perspektif yang kaya untuk memahami kompleksitas interaksi antara hukum adat, hukum agama, dan hukum negara dalam konteks Indonesia yang plural.

Kasus Tanjung Sari menunjukkan bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat tidak hanya merupakan tuntutan konstitusional, tetapi juga merupakan prasyarat untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara memerlukan dialog yang terbuka, penghormatan terhadap nilai-nilai fundamental masyarakat adat, dan kesediaan untuk menciptakan solusi-solusi kreatif yang mengakomodasi kepentingan berbagai pihak.

Pembelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa pluralisme hukum di Indonesia bukanlah sekedar fakta sosial, tetapi juga merupakan kekayaan budaya yang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai bagian dari identitas bangsa Indonesia yang majemuk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *