Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya, termasuk sistem hukum adat yang masih hidup dan berkembang di berbagai daerah. Hukum adat, sebagai hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat, memainkan peran penting dalam mengatur kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu konflik yang menarik perhatian publik dalam konteks hukum adat adalah sengketa tanah adat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kasus ini mencerminkan benturan antara sistem hukum negara dan hukum adat yang masih eksis di masyarakat lokal.
Artikel ini membahas studi kasus sengketa tanah adat di Desa Kinipan sebagai representasi konflik agraria yang berkaitan dengan eksistensi dan pelaksanaan hukum adat, serta mengkorelasikannya dengan teori hukum adat menurut para ahli.
Latar Belakang Kasus
Desa Kinipan dihuni oleh masyarakat adat Dayak Tomun yang telah mendiami wilayah tersebut selama ratusan tahun. Tanah yang mereka tempati selama ini dianggap sebagai tanah adat, yaitu wilayah yang dikuasai dan dimanfaatkan secara kolektif oleh komunitas adat berdasarkan norma-norma adat yang berlaku. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, kawasan hutan di Kinipan mulai dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit oleh sebuah perusahaan swasta bernama PT Sawit Mandiri Lestari (SML).
Pada tahun 2019, terjadi eskalasi konflik ketika pemerintah memberikan izin kepada PT SML untuk membuka lahan di wilayah yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat Kinipan. Proses perizinan tersebut dilakukan tanpa konsultasi dan persetujuan dari masyarakat adat, yang menimbulkan penolakan keras. Tokoh adat dan aktivis lingkungan setempat, termasuk Effendi Buhing, menolak aktivitas perusahaan dan menuntut pengakuan atas hak tanah adat mereka. Penolakan tersebut kemudian berujung pada penangkapan Effendi Buhing oleh aparat penegak hukum atas dugaan perusakan fasilitas perusahaan, yang memicu gelombang solidaritas masyarakat sipil. Kasus ini menjadi simbol perlawanan masyarakat adat terhadap ekspansi korporasi yang dianggap mengabaikan hak-hak adat.
Analisis Berdasarkan Teori Hukum Adat
Untuk memahami konteks dan relevansi hukum adat dalam kasus Kinipan, penting untuk mengacu pada beberapa teori hukum adat, di antaranya teori Ter Haar, Van Vollenhoven, dan Soepomo yang akan di bahas berikut ini.
Teori Ter Haar
Teori Ter Haar menyatakan bahwa hukum adat bukanlah kumpulan norma tertulis, melainkan living law, yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia menekankan pentingnya struktur sosial dan kebiasaan masyarakat sebagai sumber hukum. Dalam konteks Kinipan, hukum adat masyarakat Dayak Tomun telah hidup dan diterapkan selama bertahun-tahun, mengatur tata kelola tanah, sistem kekerabatan, dan sanksi sosial.
Dengan demikian, penyerobotan tanah oleh perusahaan tanpa mengindahkan aturan adat dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum yang hidup. Negara, dalam hal ini, tidak hanya mengabaikan hukum tertulis, tetapi juga gagal mengakui living law yang dijunjung oleh masyarakat adat.
Teori Van Vollenhoven
Teori Van Vollenhoven mengidentifikasi adanya rechtskring atau lingkungan hukum adat yang beragam di Indonesia. Teori ini menyatakan bahwa setiap kelompok masyarakat adat memiliki sistem hukum tersendiri yang harus dihormati. Van Vollenhoven juga memperkenalkan konsep beschikkingsrecht, yaitu hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat atas wilayahnya.
Dalam kasus Kinipan, masyarakat Dayak Tomun memiliki hak ulayat atas tanah mereka berdasarkan warisan adat yang telah turun-temurun. Hak ini bukan sekadar klaim sentimental, tetapi merupakan hak kolektif atas pemanfaatan sumber daya alam. Dengan tidak memperhatikan beschikkingsrecht tersebut, pemerintah telah mengabaikan prinsip keadilan sosial dan pluralisme hukum.
Teori Soepomo
Soepomo, sebagai tokoh perumus dasar negara, menyatakan bahwa sistem hukum Indonesia idealnya mengakomodasi hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Dalam pandangannya, hukum adat adalah cerminan jiwa bangsa dan nilai-nilai gotong royong yang seharusnya dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan hukum.
Kasus sengketa tanah adat di Desa Kinipan menunjukkan bahwa semangat integrasi antara hukum adat dan hukum negara belum sepenuhnya terwujud. Justru terdapat dominasi hukum formal negara yang mengabaikan eksistensi sistem hukum lokal, padahal menurut Soepomo, keduanya seharusnya saling melengkapi dalam membangun keadilan sosial.
Implikasi dan Tantangan
Kasus sengketa tanah adat di Desa Kinipan mencerminkan ketegangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan hak masyarakat adat. Di satu sisi, negara mendorong investasi melalui pemberian konsesi kepada perusahaan. Di sisi lain, masyarakat adat kehilangan ruang hidup mereka karena tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Konflik ini juga mengungkap kelemahan regulasi terkait pengakuan hak adat, meskipun UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.” Namun pada kenyataannya, banyak komunitas adat yang belum mendapatkan pengakuan formal dari negara, termasuk masyarakat Desa Kinipan.
Kelemahan pengakuan secara formal menyebabkan hukum adat sering kali dipinggirkan dalam proses hukum. Padahal, jika teori-teori hukum adat diterapkan secara konsisten, negara seharusnya memberikan ruang dan perlindungan terhadap sistem hukum yang tumbuh secara organik dalam masyarakat.
Penutup
Kasus sengketa tanah adat di Desa Kinipan ini menegaskan pentingnya pengakuan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Teori-teori dalam hukum adat seperti Teori Ter Haar, Teori Van Vollenhoven, dan Teori Soepomo menunjukkan bahwa hukum adat memiliki kedudukan yang tidak bisa diabaikan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Pengabaian terhadap hukum adat bukan hanya persoalan legalitas, tetapi juga pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan sosial dan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, perlu ada upaya lebih serius dari negara untuk mengintegrasikan hukum adat ke dalam sistem hukum nasional, melalui pengakuan hak-hak ulayat, mekanisme resolusi konflik berbasis adat, serta perlindungan terhadap masyarakat adat dari tekanan ekonomi dan politik.
“Hukum adat bukan warisan masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan fondasi sosial yang harus dilestarikan untuk masa depan Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.”