Opini

Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam Sengketa Tata Usaha Negara

147
×

Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam Sengketa Tata Usaha Negara

Sebarkan artikel ini
AUPB

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

Dalam setiap helaan napas negara hukum, tersembunyi satu prinsip yang kerap menjadi penentu: keadilan administratif. Bukan semata-mata keadilan prosedural, melainkan keadilan yang hidup dalam keputusan dan tindakan pemerintahan sehari-hari. Di sinilah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) menemukan relevansinya. Saya memandang AUPB bukan sekadar norma hukum yang harus dipatuhi, melainkan fondasi moral yang menjaga wajah negara tetap manusiawi di hadapan rakyatnya. Dalam konteks hukum Tata Usaha Negara (TUN), AUPB menjadi nafas yang menghidupkan gugatan warga terhadap keputusan-keputusan yang mereka anggap menciderai hak-hak mereka.

Berbicara tentang AUPB, kita sebenarnya sedang berbicara tentang nilai-nilai dasar yang membatasi kekuasaan administratif. Menurut Ridwan HR, AUPB adalah prinsip-prinsip yang secara implisit melekat pada setiap tindakan pemerintahan, meskipun tidak selalu tertulis dalam undang-undang (“Hukum Administrasi Negara”, 2006). Prinsip-prinsip itu antara lain kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, proporsionalitas, tidak menyalahgunakan wewenang, dan perlakuan yang adil.

Baca juga: Hukum Tata Negara: Pengertian, Sejarah, dan Peranannya dalam Sistem Kenegaraan

Kepastian hukum menjamin bahwa rakyat dapat memprediksi konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Keterbukaan memastikan adanya transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Akuntabilitas menuntut pejabat untuk bertanggung jawab atas kebijakannya. Proporsionalitas menjaga agar keputusan tidak sewenang-wenang dan berlebihan. Sementara itu, asas tidak menyalahgunakan wewenang dan asas perlakuan yang adil melindungi warga dari diskriminasi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Melihat AUPB seperti ini membuat saya sadar bahwa hukum administrasi bukan sekadar soal prosedur, melainkan tentang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam administrasi pemerintahan.

Hubungan AUPB dengan Sengketa TUN

Dalam sengketa TUN, posisi AUPB sungguh sentral. Setiap warga negara yang menggugat tindakan atau keputusan pejabat administrasi tidak hanya menggugat keabsahan formal, tetapi juga keadilan substansialnya. AUPB menjadi standar yang digunakan hakim dalam menguji apakah sebuah keputusan administratif itu sah atau justru cacat.

Mahkamah Agung, dalam beberapa putusannya, sering kali menekankan pentingnya AUPB. Misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 78 K/TUN/2005, disebutkan bahwa “keputusan pejabat yang bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan dapat dibatalkan meskipun tidak secara eksplisit melanggar peraturan perundang-undangan”. Ini membuktikan bahwa AUPB memiliki kedudukan setara, bahkan kadang lebih penting, dibandingkan peraturan tertulis dalam menguji legalitas tindakan pemerintahan.

Bagi saya, ini mencerminkan bahwa hukum administrasi kita tidak ingin terjebak pada legalisme kaku. Ia membuka ruang bagi hakim untuk memeriksa kebenaran materiil di balik tirai formalitas hukum.

Contoh Implementasi AUPB

Salah satu contoh menarik dalam implementasi AUPB adalah dalam kasus pembatalan keputusan mutasi jabatan oleh pejabat daerah. Di beberapa putusan PTUN, hakim membatalkan keputusan mutasi tersebut karena dinilai melanggar asas kepastian hukum dan tidak proporsional. Mutasi yang dilakukan tanpa prosedur yang jelas, tanpa pemberitahuan, dan tanpa alasan yang transparan, dinilai telah mencederai prinsip keterbukaan dan keadilan administratif.

Dalam kasus lain, Putusan PTUN Jakarta Nomor 123/G/2020/PTUN.JKT menunjukkan bagaimana pengadilan menggunakan AUPB untuk membatalkan SK pejabat yang memberhentikan seorang PNS tanpa alasan yang cukup. Hakim berpendapat bahwa tindakan itu bertentangan dengan prinsip akuntabilitas dan tidak menyalahgunakan wewenang.

Kisah-kisah ini menegaskan bahwa AUPB bukan konsep abstrak, melainkan nyata hadir di ruang-ruang persidangan. Hakim menjadikan prinsip-prinsip itu sebagai cahaya untuk menerangi apakah tindakan pemerintahan sudah berjalan dalam koridor keadilan.

Masalah dalam Penerapan AUPB

Meski idealnya demikian, dalam praktiknya implementasi AUPB masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, tidak semua pejabat memahami kedalaman nilai-nilai yang terkandung dalam AUPB. Banyak keputusan administratif yang hanya berfokus pada formalitas prosedur, tanpa mempertimbangkan aspek substansialnya.

Kedua, penerapan AUPB di pengadilan masih belum seragam. Ada kalanya hakim terlalu kaku menafsirkan AUPB, seolah-olah prinsip ini hanya pelengkap, bukan kriteria utama pengujian. Inkonsistensi ini, menurut hemat saya, dapat mengaburkan peran vital AUPB dalam mewujudkan keadilan administrasi.

Ketiga, kontrol internal dalam birokrasi pemerintahan terhadap pelanggaran AUPB masih lemah. Mekanisme pengawasan sering kali terjebak dalam kepentingan birokratis yang justru bertolak belakang dengan semangat AUPB itu sendiri.

Baca juga: Sumber Hukum Tata Negara

Saya memandang bahwa tantangan ini bukan untuk diratapi, tetapi menjadi pengingat bahwa perjalanan memperjuangkan AUPB adalah maraton panjang yang membutuhkan ketekunan dan konsistensi semua pihak.

Implikasi terhadap Reformasi Birokrasi

Implementasi AUPB memiliki implikasi yang besar dalam reformasi birokrasi. Sebuah birokrasi yang berpegang teguh pada AUPB bukan hanya menjalankan aturan, tetapi juga membangun kepercayaan publik. Karena pada akhirnya, legitimasi negara dalam pandangan rakyat tidak hanya diukur dari kekuasaan hukum, melainkan dari keadilan dalam pelaksanaannya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Utrecht, “kekuasaan yang tidak diikat oleh hukum dan asas keadilan adalah kekuasaan yang mengundang kehancuran”. Di tengah upaya membangun pemerintahan yang bersih dan melayani, AUPB seakan menjadi ruh yang menghidupkan ikhtiar tersebut.

Dalam konteks ini, sengketa TUN bukan hanya sekadar forum persengketaan administratif, melainkan medan untuk menguji sejauh mana negara menghargai martabat warganya. Setiap putusan PTUN yang mengafirmasi AUPB sejatinya adalah sebuah langkah kecil menuju peradaban hukum yang lebih adil.

Menulis tentang AUPB dan sengketa TUN bagi saya terasa seperti membuka lembaran pergulatan bangsa ini dalam membangun pemerintahan yang berkeadilan. Di balik setiap prinsip AUPB, tersembunyi harapan: bahwa kekuasaan administrasi tidak akan pernah menjadi alat penindasan, melainkan instrumen pelayanan. Implementasi AUPB dalam penyelesaian sengketa TUN adalah refleksi tentang bagaimana negara menempatkan dirinya sebagai pelayan, bukan penguasa, atas rakyatnya.

Referensi

Ridwan HR. (2006). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Utrecht, E. (1959). Pengantar dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2005). Putusan Nomor 78 K/TUN/2005.

PTUN Jakarta. (2020). Putusan Nomor 123/G/2020/PTUN.JKT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *