Artikel

Hukum Tata Negara: Pengertian, Sejarah, dan Peranannya dalam Sistem Kenegaraan

171
×

Hukum Tata Negara: Pengertian, Sejarah, dan Peranannya dalam Sistem Kenegaraan

Sebarkan artikel ini
Hukum Tata Negara

Istilah hukum tata negara atau HTN berasal dari gabungan kata “hukum”, “tata”, dan “negara” yang di dalamnya membahas urusan penataan negara.[1] Hukum adalah seperangkat aturan atau kaidah untuk bersikap atau bertingkah laku, dan apabila dilanggar dikenai sanksi.[2] Secara umum Hukum tata negara adalah ilmu yang mengkaji aspek hukum untuk membentuk dan dibentuk oleh organisasi suatu negara.

Kemudian, tata dikaitkan dengan kata tertib, yakni order yang bisa juga diterjemahkan sebagai tata tertib. Tata negara berarti sistem penataan negara yang berisi ketentuan tentang struktur kenegaraan dan substansi norma kenegaraan.

Dengan kata lain, pengertian hukum tata negara adalah ilmu yang membahas tatanan struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau kenegaraan, dan mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara.[3]

Baca juga: Menelisik Jejak Konstitusi

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum tata negara mengatur hubungan antara subjek hukum, baik individu maupun entitas non-individu, dengan kelompok masyarakat atau badan hukum yang berbentuk negara maupun bagian dari negara.[4] Istilah hukum tata negara sendiri memiliki beragam penggunaan dalam berbagai bahasa.[5] Seperti :

  • Inggris: Constitutional Law
  • Prancis: Droit Constitutionnel
  • Italia: Diritto Constitutionale
  • Jerman: Verfaussungsrecht
  • Belanda: Staatsrecht [6]

Pengertian Hukum Tata Negara Menutur Para Ahli

  1. J. Van Apeldoorn

Hukum tata negara atau hukum negara dipakai dalam arti luas dan arti sempit. Hukum negara dalam arti luas meliputi hukum administrasi, sedangkan hukum negara dalam arti sempit menunjukan orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintah dan batas-batas kekuasaannya.[7]

  1. Cornelis Van Vollenhoven

Hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum yang mendirikan badan-badan sebagai alat negara dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu dan yang membagi pekerjaan pemerintah kepada berbagai alat negara di segala kedudukannya.[8]

  1. H. A. Logemann

Hukum tata negara merupakan hukum yang mengatur organisasi negara. Negara adalah organisasi jabatan-jabatan, dan yang termasuk pengertian inti hukum tata negara adalah jabatan. Jabatan muncul sebagai pribadi yang khas bagi HTN dan harus dinyatakan dengan jelas.[9]

  1. Mahfud MD

Hukum adalah peraturan mengenai tingkah laku orang dalam masyarakat yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan, sedangkan negara adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Sedangkan pengertian Hukum Tata Negara adalah peraturan tingkah laku mengenai hubungan antara individu dengan negaranya.[10]

Sejarah Hukum Tata Negara Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan hingga Reformasi

Perkembangan hukum tata negara Indonesia mengalami berbagai perubahan sejak kemerdekaan hingga era reformasi. Perjalanan ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode utama, yaitu: Awal Kemerdekaan (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949), era Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), penerapan Undang-Undang Dasar Sementara (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), kembalinya UUD 1945 (5 Juli 1959 – saat ini), serta amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Setiap periode memiliki konstitusi yang berbeda-beda, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.

  1. Periode UUD 1945 Awal Kemerdekaan (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)

Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, yang kemudian diikuti dengan pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945. Ismail Sunny dalam bukunya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif menyebutkan bahwa pengesahan UUD 1945 harus dikaji dalam konteks keberhasilan revolusi Indonesia, karena konstitusi ini menjadi landasan sah bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini selaras dengan pemikiran Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa jika suatu revolusi berhasil mempertahankan konstitusi baru secara efektif, maka pemerintahan dan konstitusi tersebut dapat dianggap sah menurut norma hukum internasional.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, sistem ketatanegaraan Indonesia belum menerapkan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini disebabkan oleh dominasi politik yang belum stabil di dalam lembaga-lembaga negara tertinggi. Pemerintahan saat itu dibantu oleh Komite Nasional yang berperan dalam mengadopsi prinsip Trias Politica, di mana kekuasaan negara terbagi menjadi eksekutif sebagai pelaksana regulasi, legislatif sebagai pembuat regulasi, dan yudikatif sebagai penegak hukum. Pembagian kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah dominasi satu pihak serta menciptakan sistem check and balance di antara lembaga-lembaga pemerintahan.

  1. Periode UUD RIS 1949 (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)

Pasca kemerdekaan, Belanda masih berupaya merebut kendali atas Indonesia dengan membentuk beberapa negara bagian seperti Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur, dan Negara Pasundan, yang bertujuan untuk melemahkan kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini memicu konflik yang berujung pada Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi Militer Belanda II (1948).

Tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya menghasilkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Dalam konferensi ini, dibentuk panitia yang bertugas merancang Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Pasal 2 UUD RIS, wilayah Indonesia ditetapkan sesuai dengan Perjanjian Renville. Namun, UUD RIS hanya berlaku di wilayah negara bagian Republik Indonesia sejak 27 Desember 1949.

Eksistensi UUD RIS sendiri tidak bertahan lama karena Pasal 186 UUD RIS mewajibkan pemerintah dan Konstituante untuk segera menyusun konstitusi baru bagi RIS. Dengan demikian, sifat UUD RIS sejak awal memang hanya bersifat sementara.

  1. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

Keberlanjutan RIS tidak berlangsung lama karena sejak awal mayoritas rakyat Indonesia telah menginginkan bentuk negara kesatuan, sebagaimana telah dinyatakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. Seiring waktu, negara-negara bagian yang sebelumnya tergabung dalam RIS mulai kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pada akhirnya hanya tersisa tiga negara bagian dalam RIS. Hal ini menyebabkan menurunnya legitimasi sistem pemerintahan federal.

Pada 19 Mei 1950, disepakati perjanjian antara negara bagian RIS yang tersisa dengan Republik Indonesia untuk membubarkan sistem federal dan kembali ke bentuk negara kesatuan. Konstitusi sementara yang dihasilkan, yakni UUDS 1950, bersifat sementara sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 134 UUD 1950, yang mewajibkan penyusunan UUD baru oleh Konstituante bersama pemerintah. Atas dasar ini, pada bulan Desember 1955, diselenggarakan pemilihan umum guna memilih anggota Konstituante, yang kemudian resmi dibentuk di Bandung pada 10 November 1956.

  1. Periode Pasca Dekrit 5 Juli 1959 hingga Reformasi

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno mengembalikan konstitusi Indonesia ke UUD 1945. Menurut Hazairin dalam bukunya Demokrasi Pancasila, Dekrit 5 Juli 1959 sering dikaitkan dengan Piagam Jakarta dalam menjelaskan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjadi perdebatan antara kelompok nasionalis agama dan nasionalis lainnya.

Selama era Orde Lama dan Orde Baru, konstitusi mengalami empat kali revisi dalam upaya menyesuaikan hukum dengan prinsip Pancasila. Pada masa Orde Baru, meskipun secara formal sistem pemerintahan tampak demokratis, kenyataannya bersifat otoriter dengan kekuasaan Presiden yang sangat dominan. Sistem pemerintahan yang sentralistik bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya diatur dalam UUD 1945.

Meskipun secara konstitusional UUD 1945 mengakui nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, dalam praktiknya, partisipasi warga negara masih terbatas. Salah satu buktinya adalah pemilihan Presiden yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanpa keterlibatan langsung rakyat.

Pada era reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen, yaitu:

  1. Amandemen pertama (1999) mengurangi kekuasaan Presiden dan mengembalikan wewenang legislatif kepada DPR.
  2. Amandemen kedua (2000) mencakup aspek pemerintahan daerah, hak asasi manusia, serta pertahanan dan keamanan negara.
  3. Amandemen ketiga (2001) mengatur perubahan dalam struktur MPR, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, serta mempertegas Indonesia sebagai negara hukum.
  4. Amandemen keempat (2002) meliputi sembilan materi perubahan, termasuk mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung serta perubahan dalam keanggotaan MPR yang kini terdiri dari anggota DPR dan DPD.

Peran Hukum Tata Negara dalam Pemerintahan

Hukum tata negara berperan sebagai dasar utama dalam sistem pemerintahan Indonesia. Peran ini mencakup kewenangan dalam menetapkan aturan yang mengatur jalannya kekuasaan negara, pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan, serta hubungan antara pemerintah dan masyarakat (Universitas Islam An Nur Lampung, n.d.). Salah satu fungsi utama hukum tata negara adalah sebagai pedoman dalam merancang dan menyusun konstitusi negara, yang berisi prinsip-prinsip mendasar terkait struktur pemerintahan, distribusi kekuasaan antar cabang pemerintahan, serta hak-hak dasar warga negara.

Baca juga: RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Disahkan oleh DPR

Dalam konteks global, hukum tata negara di Inggris menjadi contoh bagaimana pembatasan kekuasaan pemerintah diterapkan (Siegel, 2023). Prinsip checks and balances dalam hukum tata negara berperan dalam mencegah penyalahgunaan wewenang dengan membagi kekuasaan di antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta memastikan adanya mekanisme kontrol dan keseimbangan di antara ketiganya (Vickers, 2024).

Selain itu, hukum tata negara juga berperan dalam menjaga kedaulatan negara dengan mengatur hubungan luar negeri, menyelesaikan sengketa internasional, serta merancang dan menerapkan kebijakan luar negeri (Bugarič, 2019). Dengan demikian, hukum tata negara turut berkontribusi dalam melindungi kepentingan nasional di tingkat internasional.

Berikut adalah beberapa peran hukum tata negara dalam pemerintahan Indonesia:

  1. Menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia

Hukum tata negara berlandaskan prinsip demokrasi, kebebasan berpendapat, hak atas keadilan, serta berbagai hak fundamental lainnya (Bucholc, 2022). Hal ini memastikan bahwa pemerintah menjalankan kewenangannya dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kebebasan individu serta menyediakan mekanisme perlindungan hak-hak tersebut.

  1. Membentuk Lembaga Independen untuk Mengawasi Pemerintah

Lembaga-lembaga pengawas seperti komisi antikorupsi, badan pengawas keuangan, dan lembaga perlindungan hak asasi manusia bertugas memastikan transparansi serta akuntabilitas pemerintah, sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan (Leino-Sandberg, 2022).

  1. Menjadi Landasan bagi Sistem Politik dan Pemilihan Umum yang Demokratis

Hukum tata negara mengatur jalannya pemilu, partai politik, serta keterlibatan masyarakat dalam sistem politik, sehingga tercipta proses politik yang transparan, adil, dan partisipatif (Versteeg, 2020).

  1. Menyediakan Mekanisme Penyelesaian Sengketa antara Pemerintah dan Warga Negara

Lembaga peradilan konstitusi dan administratif berperan dalam menyelesaikan perselisihan terkait penafsiran konstitusi maupun implementasi kebijakan pemerintah, sehingga setiap warga negara memiliki akses yang setara terhadap hukum (Burgers, 2020).

  1. Mendukung Reformasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial

Hukum tata negara memungkinkan adanya perubahan dalam konstitusi atau undang-undang dasar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga dapat mengakomodasi perkembangan zaman serta tuntutan sosial yang baru (Baude, 2019).

Baca juga: Konsultan Hukum

Kesimpulan

Hukum Tata Negara (HTN) adalah cabang ilmu hukum yang membahas struktur dan mekanisme hubungan dalam organisasi negara, termasuk antara lembaga negara dan warga negara. HTN berfungsi sebagai dasar dalam sistem pemerintahan, pembentukan konstitusi, serta distribusi kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Perkembangan HTN di Indonesia mengalami perubahan signifikan sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi, yang ditandai dengan perubahan konstitusi dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950, hingga kembalinya UUD 1945 dan amandemennya pada 1999–2002. Perubahan ini bertujuan untuk memperkuat sistem demokrasi, membatasi kekuasaan eksekutif, serta menjamin hak asasi manusia.

Selain itu, HTN berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan, memastikan transparansi dan akuntabilitas, serta memberikan mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dan masyarakat. Dengan prinsip checks and balances, HTN mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta mendukung reformasi pemerintahan agar sesuai dengan tuntutan sosial dan perkembangan zaman.

Penulis

Muhammad Bintang Al Barid

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Referensi

[1] Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 18

[2] Tundjung Herning Sitabuana. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2020, hal. 2

[3] Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 18

[4] Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 15

[5] Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 17

[6] Dian Aries Mujiburohman. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 4

[7] Dian Aries Mujiburohman. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 8

[8] Dian Aries Mujiburohman. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 9

[9] Dian Aries Mujiburohman. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 9

[10] Dian Aries Mujiburohman. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 10

Ames, D. (2020). Due process and mass adjudication: Crisis and reform. Stanford Law Review, 72(1), 1–78.

Banner, S. (2021). The decline of natural law: How American lawyers once used natural law and why they stopped. The Decline of Natural Law: How American Lawyers Once Used Natural Law and Why They Stopped, 1–255. https://doi.org/10.1093/oso/9780197556498.001.0001

Baumgärtel, M. (2019). Pulling human rights back in? local authorities, international law and the reception of undocumented migrants. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 51(2), 172–191. https://doi.org/10.1080/07329113.2019.1624942

Benoît, C. (2020). Handbook of Parliamentary Studies: Interdisciplinary Approaches to Legislatures. Handbook of Parliamentary Studies: Interdisciplinary Approaches to Legislatures, 1–494. https://doi.org/10.4337/9781789906516 Black,

W. (2019). The fundamental right to education. Notre Dame Law Review, 94(3), 1059–1114. Blackhawk, M. (2019). Federal Indian law as paradigm within public law. Harvard Law Review, 132(7), 1791–1877.

Bolt, M. (2019). Recognising the family house: A problem of urban custom in South Africa. South African Journal on Human Rights, 35(2), 147–168. https://doi.org/10.1080/02587203.2019.1632737 Bouka, Y. (2019). Women’s political inclusion in Kenya’s devolved political system. Journal of Eastern African Studies, 13(2), 313–333. https://doi.org/10.1080/17531055.2019.1592294

Bucholc, M. (2022). Abortion Law and Human Rights in Poland: The Closing of the Jurisprudential Horizon. Hague Journal on the Rule of Law, 14(1), 73–99. https://doi.org/10.1007/s40803-022-00167-9

Della Cananea, G. (2019). The ‘common core’ of administrative laws in europe: A framework for analysis. Maastricht Journal of European and Comparative Law, 26(2), 217–250. https://doi.org/10.1177/1023263X19827817 Epps,

D.(2019). How to save the supreme court. Yale Law Journal, 129(1), 148–206. https://doi.org/10.2139/ssrn.3288958

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *