Artikel

Sengketa Lahan Antara Desa Adat Gerih dan Desa Adat Cemenggon di Bali (2023): Tinjauan Teori Pluralisme Hukum John Griffiths

147
×

Sengketa Lahan Antara Desa Adat Gerih dan Desa Adat Cemenggon di Bali (2023): Tinjauan Teori Pluralisme Hukum John Griffiths

Sebarkan artikel ini
Adat

Pendahuluan

Sengketa tanah atau lahan sering kali menjadi permasalahan utama di Indonesia, terutama di daerah yang masih kental mempertahankan sistem hukum adat. Salah satu kasus yang menjadi fokus saya adalah sengketa lahan antara Desa Adat Gerih dan Desa Adat Cemenggon di Kabupaten Badung, Bali. Kasus ini memunculkan pertanyaan besar mengenai bagaimana negara dan masyarakat adat menyikapi klaim hak atas tanah, serta bagaimana dua sistem hukum dapat beroperasi dalam satu wilayah hukum.

John Griffiths dalam teorinya menyatakan bahwa pluralisme hukum adalah kenyataan hukum yang diwarnai oleh eksistensi beberapa sistem hukum yang hidup berdampingan dalam satu masyarakat. Hal ini menjadi relevan dalam konteks Bali, di mana hukum adat memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Sengketa lahan antara Desa Adat Gerih dan Desa Adat Cemenggon di Bali pada tahun 2023 menjadi cerminan nyata kompleksitas hubungan antara hukum negara dan hukum adat. Dalam teori pluralisme hukum John Griffiths, keberadaan berbagai sistem hukum yang berjalan paralel menimbulkan dinamika tersendiri dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Artikel ini mengkaji kasus tersebut melalui perspektif pluralisme hukum dan menyoroti bagaimana masyarakat adat menghadapi putusan negara yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Diharapkan tulisan ini dapat memperluas pemahaman mengenai pentingnya pengakuan hukum adat dalam sistem hukum nasional.

Baca juga: Sanksi Adat di Desa Bipak Kali: Penegakan Hukum dan Dampaknya pada Kehidupan Sosial

Awal Mula Kronologi Sengketa

Sengketa ini sudah berlangsung dari lama yakni sejak Tahun 1997, saat itu terjadi klaim sepihak atas lahan seluas 1,5 hektare menjadi pelaba Pura dan sebagai bagian dari wewidangan oleh Desa Adat Gerih. Proses hukum pun berlangsung panjang: dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, kasasi di Mahkamah Agung (MA), hingga Peninjauan Kembali (PK). Hasil akhirnya, PK memenangkan Desa Adat Cemenggon dan lahan dinyatakan sah sebagai milik mereka.

Pada akhir 2023, rencana eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri Denpasar mendapat penolakan keras dari masyarakat Desa Adat Gerih. Krama desa memasang spanduk penolakan dan menyatakan keresahan terhadap pelaksanaan keputusan tersebut, menganggapnya tidak selaras dengan nilai adat dan bukti sejarah kepemilikan tanah secara turun-temurun. (Nusabali.com,2023)

Dalam Perspektif Pluralisme Hukum

Menurut teori dari John Griffiths, pluralisme hukum terdiri dari dua jenis yakni ada yang kuat dan ada yang lemah. Dalam pengertian pluralisme kuat itu bisa terjadi saat sistem hukum non-negara atau hukum adat beroperasi secara otonom, tidak tunduk pada negara. Sedangkan jika dalam pengertian pluralisme lemah itu sendiri terjadi bila sistem hukum adat ini hanya diakui bila selaras atau bisa diatur oleh hukum negara.

Dalam kasus ini, hukum adat yang diyakini oleh masyarakat Desa Adat Gerih bertabrakan dengan putusan lembaga negara. Meski negara memutuskan melalui jalur formal, masyarakat tetap bertahan pada klaim adat, yang menunjukkan kuatnya pluralisme hukum dalam realitas sosial Bali.

Terjadinya Ketegangan antara Hukum Adat dan Negara

Penolakan eksekusi lahan oleh Desa Adat Gerih memperlihatkan keterputusan antara legitimasi formal dan legitimasi sosial. Keputusan pengadilan yang sah secara hukum negara belum tentu diterima secara sosial di tingkat masyarakat adat. Ini memperkuat pandangan Griffiths bahwa sistem hukum negara bukanlah satu-satunya otoritas hukum yang diakui masyarakat. Lebih lanjut, sistem hukum negara sering kali mengabaikan aspek historis dan kultural dari klaim adat sehingga konflik tersebut dapat meluas tidak hanya antar komunitas adat, tetapi juga antara masyarakat adat dengan aparat negara, bahkan menciptakan ketegangan politik lokal jika tidak segera ditangani secara bijak dan inklusif.

Baca juga: Hukum

Implikasi Sosial dan Kultural

Sengketa ini tidak hanya berdampak pada aspek hukum, tetapi juga relasi sosial antar komunitas. Ketegangan yang timbul dari perselisihan dua desa adat dapat mengganggu keharmonisan masyarakat. Ini menegaskan bahwa pentingnya pendekatan yang lebih sensitif terhadap konteks lokal dalam menyelesaikan sengketa sama jika terjadi lagi. Ketika hak atas tanah adat dipututuskan oleh sistem hukum negara tanpa memperhatikan dimensi kultural tersebut, dampaknya tidak hanya berupa kekecewaan hukum, tetapi juga luka sosial dan psikologis yang mendalam bagi komunmitas lokal. Oleh karena itu resolusi konflik lahan adat tidak hanya membutuhkan pendekatan legal-formal, melainkan dialog budaya juga, mediasi berbasis nilai-nilai lokal, serta rekonsiliasi yang memperhatikan yang memperhatikan integritas sosial komunitas yang terlibat.

Kesimpulan

Kasus sengketa lahan antara Desa Adat Gerih dan Desa Adat Cemenggon mencerminkan kompleksitas interaksi antara hukum negara dan hukum adat di Indonesia. Teori pluralisme hukum dari John Griffiths menjadi kerangka yang relevan untuk memahami bagaimana sistem hukum berbeda dapat berjalan secara bersamaan dan bahkan bertabrakan. Konflik ini memperlihatkan bahwa legitimasi sosial tidak selalu sejalan dengan legitimasi formal.

Diperlukan pendekatan yang lebih integratif dan partisipatif antara negara dan masyarakat adat. Pengakuan terhadap keberadaan dan fungsi hukum adat seharusnya lebih diperkuat dalam proses peradilan, terutama dalam perkara agraria. Penyelesaian sengketa sebaiknya tidak semata-mata berdasarkan norma positif, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang hidup dan dihormati oleh masyarakat. Sehingga dapat menciptakan keselarasan dan kepercayaan antara negara dan masyarakat adat.

Referensi

Nusabali. (2023). Desa Adat Gerih Melawan, Tolak Rencana Eksekusi Lahan Sengketa dengan Desa Adat Cemenggon. https://www.nusabali.com/berita/156611/desa-adat-gerih-melawan-tolak-rencana-eksekusi-lahan-sengketa-dengan-desa-adat-cemenggon.

Griffiths, John. (1986). What is Legal Pluralism? Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law.

Soerjono Soekanto. (2007). Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Bedner, Adriaan & Van Huis, Stijn. (2008). Pluralism in Indonesian Land Law. The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law.

Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Hak Tanah Adat dan Penyelesaiannya, 2022.

Wulan, D.A. (2021). Dinamika Hukum Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Penulis

Mohamad Choirul Mahmud

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *