Tradisi Pernikahan Dini di Madura
Pulau Madura yang kaya akan tradisi dan budaya yang kental dengan masyarakatnya yang memiliki identitas budaya yang kuat. Salah satu tradisi yang sampai saat ini dilakukan adalah pernikahan dini. Praktik pernikahan dini di Madura telah menjadi budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang, pernikahan dini seringkali dianggap sebagai suatu penghormatan akan nilai-nilai lokal yang mengutamakan kehormatan keluarga dan stabilitas sosial.
Namun, dalam konteks modern, tradisi ini menjadi sorotan dan perdebatan karena bertentangan dan melanggar Hukum Nasional yang menetapkan batas minimal usia pernikahan. Selain itu, dalam perspektif Kesetaraan Gender pernikahan dini seringkali mengabaikan hak-hak perempuan untuk memilih pilihan hidupnya sendiri. Posisi perempuan dalam praktik pernikahan dini sebagai orang yang dipilih tanpa mempunyai hak untuk menolak. Berdasarkan data Pengadilan Agama Sumenep, 212 pasangan yang tercatat mengajukan dispensasi nikah selama tahun 2024.
Baca juga: Upaya Perlindungan Kesakralan Tradisi Rambu Solo’ dan Ma’ Nene dari Erosi Modernitas
Latar Belakang Pernikahan Dini
Pernikahan dini di Madura seringkali diawali dengan abhekalan atau yang dikenal sebagai pertunangan dini. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem, pertunangan dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Tradisi ini dilakukan oleh dua keluarga yang sepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan ingin menjalin hubungan keluarga yang lebih erat melalui ikatan pernikahan. Ketika anak sudah mencapai usia tertentu yang sering kali masih sangat muda, pernikahan dilaksanakan dengan upacara yang meriah. Usia muda yang dianggap sesuai untuk menikah seringkali ditentukan berdasarkan tradisi turun-temurun.
Dalam budaya Madura, keluarga, terutama orang tua, memegang peranan penting dalam menentukan pasangan. Pilihan ini sering didasarkan pada kesesuaian keluarga dari aspek status sosial, agama, dan juga ekonomi. Dalam proses perjodohan di Madura melibatkan diskusi mendalam antara dua keluarga. Tidak jarang ada mediator, seperti kerabat dekat atau tokoh masyarakat yang membantu mencocokkan kedua pihak. Anak-anak terutama Perempuan meskipun memiliki suara seringkali diabaikan dan diharuskan mengikuti harapan keluarga untuk menerima calon pasangan yang telah dipilih. Menurut pandangan mereka, semua itu dilakukan dengan harapan menciptakan kehidupan yang harmonis dan sesuai dengan nilai-nilai adat.
Selain itu, norma agama sering kali dijadikan pembenaran untuk mendukung pernikahan dini. Banyak masyarakat Madura percaya bahwa dengan menikahkan anak Perempuan di usia muda dapat melindungi mereka dari perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan norma sosial yang ada. Keyakinan masyarakat Madura terhadap stigma sosial bahwa anak Perempuan yang tidak segera menikah akan kesulitan mendapatkan pasangan, sehingga pernikahan dini diyakini sebagai cara untuk mencegah resiko “perawan tua.”
Ekonomi juga menjadi faktor utama pendorong pernikahan dini di Madura, banyak dari masyarakat Madura beranggapan dengan menikahkan anak Perempuan lebih awal akan meringankan beban ekonomi keluarga. Pada tradisi pernikahan di Madura terdapat “bhen-ghiben” atau seserahan yang dibawa oleh pihak laki-laki pada saat akad pernikahan yang berupa barang-barang perlengkapan rumah, seperti furniture, alat-alat dapur, perhiasan, dan kendaraan. Sehingga banyak keluarga yang mempunyai anak perempuan memilih untuk menikahkan anaknya di usia dini.
Ketentuan Hukum Nasional tentang Pernikahan Dini
Meskipun tradisi lokal memainkan peran besar dalam praktik pernikahan dini, ketentuan hukum nasional memberikan batasan yang tegas terkait minimal usia pernikahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang usia minimal untuk menikah adalah 19 Tahun untuk laki-laki maupun Perempuan.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan mereka memiliki kesempatan memperoleh Pendidikan dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Namun demikian, di Madura aturan hukum ini seringkali diabaikan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Akibatnya, praktik pernikahan dini masih dilaksanakan meskipun bertentangan dengan ketentuan hukum. Bahkan dalam beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah di Madura terjadi manipulasi usia yang dilakukan untuk bisa menikahkan anak-anak mereka agar sah secara agama maupun negara.
Di Indonesia pernikahan dini hanya dapat dilakukan melalui dispensasi khusus dari pengadilan. Hal ini merupakan pengecualian dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan usia minimal untuk menikah ialah 19 Tahun bagi laki-laki maupun Perempuan. Dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang perkawinan tentang izin dispensasi hanya bisa diberikan apabila terdapat alasan yang sangat mendesak. Alasan mendesak dalam Undang-Undang perkawinan adalah keadaan tidak ada cara lain sehingga harus terpaksa dilaksanakannya perkawinan, seperti contoh kehamilan diluar nikah atau situasi sosial yang mendesak.
Dalam pengajuan permohonan dispensasi nikah orang tua dari pihak Perempuan atau laki-laki mengajukan surat permohonan beserta bukti yang kuat yang menjadi alasan mendesak untuk menikah, seperti hasil medis jika alasan kehamilan atau surat keterangan dari pihak berwenang. Pengajuan diberikan ke Pengadilan Agama bagi pasangan yang beragama islam, dan ke Pengadilan Negeri bagi pasangan yang beragama selain islam (Non-Muslim).
Secara Hukum, dampak dari Pernikahan Dini seringkali melanggar Hak Anak untuk mendapatkan Pendidikan dan masa depan yang lebih baik. Selain itu, pernikahan dini melanggar ketentuan batas minimal usia pernikahan, sehingga dapat meningkatkan resiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kesehatan Reproduksi. Bahkan kemiskinan yang berkelanjutan pada generasi yang akan datang, dikarenakan putusnya Pendidikan sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Perspektif Kesetaraan Gender
Jika dilihat dari sudut pandang Kesetaraan Gender Pernikahan Dini di Madura mencerminkan budaya partriarki yang masih kuat. Seringkali Perempuan menjadi pihak yang pasif tanpa mempunyai hak untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Pernikahan dini biasanya terjadi akibat pengaruh dari tekanan budaya, norma sosial, dan ekspektasi keluarga yang sering kali mengabaikan keinginan dan potensi yang ada pada individu Perempuan. Stigma sosial yang masih kuat di masyarakat Madura bagi perempuan tentang “Perawan Tua” menjadi faktor terjadinya pernikahan dini, banyak keluarga yang beranggapan jika anak Perempuan yang belum menikah dalam usia yang sudah dianggap ideal akan kesulitan dalam mendapatkan pasangan untuk menikah.
Tradisi dan nilai-nilai sosial seringkali menjadi pendukung pernikahan dini di Madura, pandangan mereka terhadap Perempuan yang lebih dominan di rumah tangga, sehingga mengabaikan pentingnya Pendidikan, Kesehatan, dan kesejahteraan bagi perempuan. Pandangan tentang “ Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi nanti ujung-ujungnya di dapur, di kasur, dan di sumur” stigma sosial yang sangat mengandung diskriminasi terhadap Perempuan. Akibatnya, akses Perempuan terhadap Pendidikan, pekerjaan yang layak, dan pengembangan pribadi menjadi terbatas. Karena pada saat menikah, Perempuan dihadapkan dengan tanggung jawab rumah, sehingga menyulitkan mereka untuk melanjutkan Pendidikan. Mereka kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk meraih pekerjaan yang layak.
Akibatnya mereka hanya bisa bergantung hidup pada suaminya. Pernikahan dini juga berdampak pada Kesehatan reproduksi, kehamilan pada usia dini sangat beresiko tinggi terjadinya komplikasi Kesehatan, keguguran bahkan kematian bisa terjadi. Maka dari itu, penting untuk mendorong kesetaraan gender melalui edukasi, pemberdayaan, dan perubahan sosial yang melibatkan semua pihak. Dengan pendekatan ini, perempuan dapat memperoleh ruang yang lebih luas untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan hak dan kebebasan mereka, tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada.
Baca juga: Mengurai Siri’ dalam Sanksi Adat Seda’ terhadap Kawin Lari di Mamuju
Tradisi pernikahan dini, terutama di Madura yang kental akan budayanya yang kuat menunjukkan tantangan besar dalam menyelaraskan nilai budaya lokal dengan ketentuan hukum nasional dan upaya mewujudkan kesetaraan gender. Norma budaya yang kuat seringkali menjadi tantangan terhadap penerapan hukum nasional yang berupaya untuk melindungi haka nak dan mendorong kesetaraan gender. Dalam praktik pernikahan dini yang sangat merugikan perempuan, seringkali membatasi hak dan kebebasan mereka dalam menentukan hidupnya, menghadapi keterbatasan dalam Pendidikan, Kesehatan maupun dalam mengembangkan diri akibat kuatnya tekanan norma sosial.
Namun, meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, penting untuk dilakukannya Upaya untuk menyadarkan pentingnya Pendidikan untuk bekal masa depan, dan juga edukasi tentang dampak negatif dari pernikahan dini bagi Kesehatan, psikologi dan sosial. Dengan mengedepankan dialog antar budaya, Pendidikan, dan pemberdayaan Perempuan yang melibatkan tokoh masyarakat, agama, dan adat. Masyarakat madura dapat membangun pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya kesetaraan gender dan perlindungan haka nak, sekaligus tetap menghormati nilai-nilai budaya lokal. Pendekatan ini dapat fondasi penting untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang.