Artikel

Ritual Dolop dalam Perspektif Magis Religius dan Homo Religius: Penyelesaian Kasus Pembunuhan dalam Hukum Adat Suku Dayak

157
×

Ritual Dolop dalam Perspektif Magis Religius dan Homo Religius: Penyelesaian Kasus Pembunuhan dalam Hukum Adat Suku Dayak

Sebarkan artikel ini
Dolop

Ritual Dolop Suku Dayak

Ritual Dolop Dayak adalah metode peradilan adat Suku Dayak Agabag yang digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu seperti perselingkuhan, pencurian, sengketa tanah, dan kasus pembunuhan seperti yang kita bahas pada kasus ini.  Kasus Pembunuhan ini memakan korban seorang perempuan bernama Esther yang diduga dalam kasus pembunuhan ini melibatkan dua orang terdekat Esther, yaitu suami dan ayah dari Esther. Ritual ini dilakukan pada Jumat, 17 Januari 2025 di Sungai Tulin, Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebelum melaksanakan ritual tersebut, Tetua adat sudah melakukan penyelesaian secara musyawarah sebelum mengambil keputusan melaksanakan ritual dolop ini. Hal ini dipercaya oleh masyarakat Dayak untuk mengungkap kebenaran melalui bantuan roh leluhur yang dapat memecahkan permasalahan.

Setelah musyawarah diputuskan, kedua pria yang diduga membunuh Esther yaitu suami Esther yang Bernama Roy dan ayah sang korban, diminta melaksanakan ritual dolop dengan cara menyelam ke dasar Sungai Tulin sambil memegang kayu kalambuku. Ritual ini diawali dengan doa dan pemanggilan roh leluhur oleh tokoh adat, menggunakan beras kuning, kain merah, kain kuning, dan batang pisang sebagai perlengkapan prosesi. Mereka juga harus mengucapkan sumpah sakral yang dikenal sebagai Uwok Nu Dolop sebelum melakukan penyelaman. Sumpah tersebut berbunyi:

“Jika di antara mereka berdua yang bersalah, maka akan keluar dari air seperti kapas yang mengapung. Dan jika di antara mereka yang benar, maka ia akan kuat seperti batu di dalam air.”

Menurut tradisi ini, pihak yang muncul lebih dulu ke permukaan air dianggap bersalah. Dan tak lama setelah kedua pria menyelam, Roy suami Esther muncul lebih dulu ke permukaan. Sehingga keputusan tersebut dianggap sebagai petunjuk bahwa Roy bersalah dalam kematian istrinya.

Baca juga: Tradisi Potong Jari di Papua, Tinjauan dalam Hukum Adat

Rekonsiliasi Melalui Denda

Ritual dolop tidak berhenti pada pembuktian atas kebenaran dan kesalahan saja, tetapi didalamnya memuat nilai-nilai rekonsiliatif. Denda yang diserahkan menjadi tanda bahwa persoalan berakhir, dan relasi kedua pihak dipulihkan. Alam menjadi saksi rekonsilasi ini dan memulihkan kehormatan dalam masyarakat yang telah tercoreng akibat kasus-kasus tersebut. Maka sebagai pihak yang dinyatakan bersalah dalam kasus ini, Roy diwajibkan membayar denda adat yang telah ditentukan. Denda tersebut meliputi:

  1. Tempayan adat, seperti Sampak Ogong dan Belayung Layin.
  2. Kain Sitak, kain khas Dayak Agabag.
  3. Seekor sapi dewasa.
  4. Uang tunai sebesar Rp30 juta.

Denda ini merupakan bentuk tanggung jawab Roy berdasarkan hukum adat yang berlaku di masyarakat Dayak Agabag, karena ritual dolop merupakan salah satu bentuk hukum tertinggi dalam masyarakat Agabag yang dianggap adil dan sakral. Ritual ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap campur tangan roh leluhur dalam menyelesaikan konflik.

Implikasi Sosial dan Budaya Suku Dayak

Meskipun berada di tengah modernisasi dan sistem hukum formal. Pelaksanaan ritual Dolop masih dilaksanakan oleh warga desa Tulin Onsoi, Kalimantan Utara. Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat Dayak Agabag masih mempertahankan tradisi mereka yang berkaitan erat dengan kepercayaan animisme serta budaya tradisional, secara tidak langsung, tradisi ini mencerminkan kepercayaan suku Agabag terhadap peran alam sebagai kekuatan transendental yang mencerminkan sistem religi dan keyakinan yang mereka anut. Oleh karena itu, masyarakat Dayak Agabag sangat terikat oleh budaya, tradisi dan ritual turun-menurun, di mana mereka dapat menyelesaikan masalah melalui hukum adat.

Namun fungsi ritual dolop bukan hanya sebagai alat penyelesaian konflik saja, tetapi ritual ini digunakan sebagai sarana untuk memperkuat identitas budaya dan solidaritas sosial masyarakat setempat. Dengan dilakukannya ritual Dolop ini, masyarakat dapat mengekspresikan rasa keadilan mereka dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka, meskipun dalam praktik sistem hukum formal masih berjalan, masyarakat masih memiliki cara-cara alternatif untuk mencari kebenaran dan keadilan, walapun ritual dolop kini mulai terancam punah karena adanya kemajuan dunia yang semakin modern, para ketua adat dan lapisan masyarakat yang sudah menetap lama di daerah tersebut berusaha sekeras mungkin agar tradisi ini tidak punah dengan menyelenggarakannya tradisi dolop ketika terdapat konflik di suatu tempat.

Kepercayaan Suku Dayak Agabag terhadap Air yang menjadi Sarana Menemukan Kebenaran (Kaitannya dengan Magis Religious dan Homo Religious)

Masyarakat Dayak Agabag menemukan religiusitas mereka yang berhubungan dengan alam, khususnya air dan sungai. Mereka meyakini bahwa alam memiliki daya ilahi yang dapat menentukan kebenaran. Bagi masyarakat Dayak, alam memiliki nilai religius magis, karena dalam kehidupan mereka, seringkali pemikiran dipengaruhi oleh konsep religio-magis. Religius magis berarti kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau supranatural yang mengatur alam semesta secara terus-menerus dan harmonis.

Baca juga: Tinjauan Perkembangan Bisnis Pornografi Digital: Upaya Perlindungan dan Hambatan dalam Masyarakat

Dalam agama asli Dayak, terdapat aturan tetap yang menjadi dasar bagi segala peristiwa di alam semesta. Aturan ini diyakini bersifat seimbang, sepadan, abadi, dan mampu menentukan kemuliaan serta kebahagiaan individu. Aturan tersebut menjadi pedoman bagi manusia agar tindakan mereka sesuai dengan hukum-hukum alam raya, sehingga tercipta kesadaran yang mendalam untuk hidup selaras dengan alam.

Maka aspek magis religious ini terlihat dalam masyarakat Dayak Agabag yang mempercayai bahwa Dolop memiliki kekuatan untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Mereka percaya bahwa alam dan roh-roh leluhur akan membantu orang yang benar dan menghukum yang bersalah selama ritual berlangsung. Selain itu, dengan menaruh bahan-bahan alam seperti beras kuning, kain merah, kain kuning, dan batang pisang dalam ritual Dolop, menunjukkan kepercayaan magis yang melekat terhadap kekuatan alam.

Konsep pemikiran masyarakat suku Dayak juga berkaitan dengan model berpikir homo religiosus. Homo religiosus merujuk pada tipe manusia yang hidup dalam dunia yang penuh dengan kesakralan dan memiliki keterhubungan yang erat dengan nilai-nilai religius. Mereka menikmati sakralitas yang tampak dalam berbagai aspek alam semesta, seperti alam materi, tumbuhan, hewan, dan manusia.

Menurut Mircea Eliade, manusia dengan pola pikir homo religiosus adalah individu yang hidup dalam dunia sakral, di mana seluruh elemen kehidupan mengandung nilai-nilai religius, yang memberikan mereka kemampuan untuk merasakan dan menikmati dimensi sakralitas tersebut. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, termasuk alam materi, tumbuhan, hewan, dan manusia, dipandang sebagai manifestasi dari sakralitas. Pengalaman dan pemahaman terhadap yang sakral ini kemudian berpengaruh besar dalam membentuk dan menentukan pola serta cara hidup manusia.

Dalam pandangan homo religiosus, dunia ini tidak hanya terdiri atas satu lapisan, tetapi mencakup dua dimensi, yaitu dunia bawah tempat manusia tinggal saat ini, dan dunia atas yang dihuni oleh para dewa, leluhur, dan pahlawan purba. Kedua dunia ini saling terhubung melalui sebuah poros yang disebut axis mundi atau poros dunia. Melalui ritual yang dilakukan, seseorang yang terlibat dalam perkara diubah menjadi manusia baru yang sadar akan kesalahan dan kekeliruannya. Kesalahan tersebut ditebus melalui pembayaran “denda” atau penitensi, yang melambangkan proses rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.

Setelah denda dibayar, masalah dianggap selesai, dan perdamaian tercapai. Pada akhirnya, ritual memiliki makna sosio-religius yang mendalam. Hal ini sejalan dengan konsep religi sebagai sebuah sistem yang membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, Tuhan, dan sesamanya.

Kesimpulan

Kasus pembunuhan yang diselesaikan melalui ritual Dolop di Kalimantan Utara menunjukkan hubungan antara hukum adat dan sistem hukum formal. Ritual ini tidak hanya berfungsi sebagai metode untuk menentukan pelaku kejahatan tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya kearifan lokal dalam mencapai keadilan. Intervensi alam, yang dipercaya memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia, tetap menjadi kepercayaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak. Tradisi Dolop tidak hanya menekankan kebenaran objektif yang bersumber dari alam, tetapi juga memperkuat hubungan antar manusia, karena alam memberikan peran yang signifikan dalam menjaga keseimbangan sosial.

Melalui ritual ini, masyarakat Dayak Agabag menunjukkan bahwa mereka masih melaksanakan warisan budaya mereka, walaupun dengan menghadapi tantangan modernitas. Ritual Dolop menjadi simbol ketahanan budaya dan refleksi dari bagaimana masyarakat dapat menemukan solusi atas konflik dengan tetap berpegang pada nilai-nilai mereka.

Tradisi ini juga mencerminkan upaya rekonsiliasi, di mana pihak-pihak yang berkonflik diangkat menjadi individu baru yang menyadari kesalahan dan kekeliruannya. Kesalahan tersebut ditebus melalui pembayaran berupa “denda” atau penitensi sebagai bentuk tanggung jawab. Ritual ini menegaskan peran penting air yang mencerminkan aspek terdalam dari jiwa manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *