Legal Essay Vol. 5 No. 21
Pendahuluan
Di era globalisasi sekarang, perkembangan akses terhadap dunia maya semakin luas, perkembangan ini bukan hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif, yang salah satunya adalah pornografi. Materi pornografi yang semakin mudah diakses oleh masyarakat termasuk anak dibawah umur menjadi tantangan serius bagi bangsa indonesia. Pornografi sendiri merupakan sebuah perbuatan yang dilarang dan hal tersebut sudah diatur pada perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan sedemikian regulasi yang mengatur terhadap distribusi aktivitas pornografi, tidak mengurangi maraknya persebaran melalui berbagai platform daring, seperti kreator media sosial yang menyalahgunakan fitur konten eksklusif Instagram, Twitter (sekarang X), situs web ilegal, serta aplikasi pengirim pesan seperti Telegram dan WhatsApp.
Perkembangan ini didorong oleh tingginya ketertarikan masyarakat untuk mengonsumsi konten dewasa. Hal ini kemudian mendorong produsen konten pornografi untuk mendistribusikan konten tersebut menjadi lebih masif dikarenakan mudahnya transaksi digital dan lemahnya pengawasan terhadap konten yang tersebar di internet. Konten pornografi tidak hanya dibuat oleh individu atau kelompok profesional, tetapi juga melibatkan fenomena user- generated content, dimana masyarakat umum termasuk remaja ikut memproduksi dan menjual konten secara daring. Bahkan maraknya praktik “sexting berbayar” (kegiatan mengirim atau menerima gambar, video, atau audio seksual dengan imbalan) menunjukan bisnis ini semakin tersusun rapi, meski berada di ranah ilegal. Selain itu, kasus eksploitasi anak dalam bisnis pornografi digital menjadi masalah serius. Beberapa kasus penjualan konten melalui grup Telegram telah terungkap, tetapi pola penyebarannya yang tersembunyi dan terus beradaptasi dengan teknologi baru membuat pemberantasan bisnis ini semakin sulit.
Dampak dari bisnis pornografi yang tersebar secara digital sangat luas dan berbahaya bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak yang rentan cenderung belum memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi terhadap konten yang tidak pantas. Paparan pornografi sejak usia dini dapat menghambat perkembangan spiritualitas, menanamkan pemahaman keliru tentang seksualitas, serta mendorong perilaku seksual yang tidak sehat. Dari sisi psikologis, pornografi dapat menyebabkan kecanduan yang mengganggu fungsi prefrontal cortex, menurunkan konsentrasi, serta memicu perilaku agresif. Secara sosial, penyebaran konten ini merusak nilai moral, meningkatkan risiko kekerasan seksual, perdagangan manusia, serta perilaku seksual berisiko seperti hubungan tanpa perlindungan. Oleh karena itu, pengawasan ketat terhadap konten daring serta edukasi yang tepat sangat penting untuk melindungi anak-anak dalam menjaga keseimbangan sosial. Mengingat dampak negatif yang signifikan, regulasi yang ketat sangat diperlukan untuk mengendalikan bisnis pornografi digital. Regulasi yang kuat dapat membantu membatasi akses ke konten pornografi, terutama bagi anak-anak, menindak tegas pelaku bisnis pornografi ilegal, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pornografi, serta memberikan perlindungan bagi korban eksploitasi seksual akibat bisnis ini. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti memblokir situs-situs pornografi dan menindak pelaku, tantangan besar masih menghadang karena sifat bisnis ini yang terus berkembang dan beradaptasi dengan teknologi baru.
Walaupun UU ITE sudah menetapkan larangan mengenai penyebaran dan akses terhadap konten pornografi, pelaksanaannya masih belum cukup efektif untuk melindungi masyarakat. Salah satu tantangan utama adalah sifat internet yang anonim dan lintas batas, yang memungkinkan pelaku beroperasi dari luar negeri, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum. Kurangnya sumber daya pada penegak hukum dalam memantau dan menindak pelanggaran pornografi digital juga merupakan kendala signifikan. Sulitnya menghapus konten yang telah menyebar di internet semakin memperparah efek pornografi digital terhadap masyarakat, khususnya bagi korban eksploitasi. Selain itu, rendahnya kesadaran publik mengenai risiko pornografi dan cara melaporkan kejahatan ini juga memperburuk keadaan. Karenanya, dibutuhkan kerja sama yang lebih komprehensif antara Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), pihak penegak hukum, platform digital, dan masyarakat untuk meningkatkan perlindungan bagi generasi muda dari ancaman dampak dari pornografi.
Pembahasan
Bisnis Pornografi Digital di Indonesia
Kemudahan akses internet di Indonesia telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap meningkatnya penyebaran konten pornografi. Dengan perkembangan pesat teknologi informasi, masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja, dapat dengan mudah mengakses materi pornografi melalui berbagai platform digital. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) menunjukan bahwa Indonesia berada di urutan negara tertinggi yang mengakses pornografi. Provinsi Jawa Tengah, misalnya, tercatat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat pengaksesan situs pornografi tertinggi dari sepuluh wilayah yang disurvei. Tingginya penetrasi smartphone di kalangan remaja Indonesia juga merupakan faktor pendukung kemudahan akses tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, 92% remaja dengan umur 15-25 tahun di Indonesia memiliki telepon genggam, di mana eksplorasi pengembangan internet yang pesat, tidak menutup kemungkinan mereka untuk dapat mengakses konten pornografi dengan mudah. Selain itu, iklan dengan sifat pornografi kerap muncul saat anak-anak bermain game, menonton YouTube, atau bahkan ketika memakai akses internet untuk membantu pada kondisi pembelajaran secara daring. Kondisi ini semakin memperbesar peluang penyebaran konten pornografi secara luas. Kekhawatiran pun muncul terkait dampak negatif dari paparan pornografi pada anak-anak dan remaja, termasuk risiko kecanduan, gangguan perkembangan psikologis, serta perilaku seksual yang berisiko.
Tingginya jumlah penyedia konten pornografi di Indonesia juga dipicu oleh semakin banyak individu yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan konten dewasa mereka. Platform seperti Instagram, X, dan TikTok, yang memiliki jumlah pengguna yang luas, sering kali dimanfaatkan sebagai alat pemasaran bagi kreator konten pornografi untuk mengarahkan audiens menuju platform berbayar atau layanan eksklusif lainnya. Tren ini semakin menguat setelah munculnya fenomena “sexting economy,” di mana individu menjual konten pribadi melalui transaksi digital, baik dalam bentuk foto, video, maupun layanan live streaming interaktif. Tak hanya platform mainstream, situs- situs web yang khusus menyediakan konten pornografi juga terus berkembang. Banyak diantaranya merupakan situs luar negeri yang dapat diakses dengan mudah oleh pengguna di Indonesia melalui Virtual Private Network (VPN) atau mirror site yang diperbarui secara berkala. Model bisnis ini memungkinkan situs-situs tersebut untuk tetap beroperasi, meskipun ada upaya pemblokiran dari pemerintah. Bahkan beberapa situs dewasa besar menyediakan program afiliasi yang mendorong pengguna untuk mempromosikan konten mereka, sehingga semakin banyak orang yang terjun dalam distribusi dan konsumsi pornografi digital. Peningkatan jumlah platform penyedia pornografi tidak hanya berdampak pada aksesibilitas konten, tetapi juga berkontribusi pada meningkatnya permintaan dan produksi konten dewasa di dalam negeri. Hal ini terlihat dari munculnya komunitas-komunitas daring yang secara aktif berbagi informasi mengenai cara memonetisasi konten pornografi serta strategi pemasaran untuk menarik lebih banyak pelanggan. Akibatnya, semakin banyak individu, terutama remaja dan dewasa muda, yang tertarik untuk menjadi pembuat konten dewasa demi tujuan finansial, menganggapnya sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Meningkatnya bisnis pornografi digital di Indonesia memberikan dampak yang serius bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak yang kini lebih mudah mengakses konten tersebut. Salah satu efek paling berbahaya adalah terganggunya perkembangan psikologis anak dan remaja. Paparan pornografi sejak usia dini dapat mengakibatkan pemahaman yang keliru tentang seksualitas, mengubah persepsi terhadap hubungan interpersonal, serta meningkatkan risiko ketergantungan pada konten seksual yang bersifat eksplisit. Penelitian juga menunjukkan bahwa konsumsi pornografi yang berlebihan dapat menyebabkan desensitisasi emosional, di mana individu menjadi kurang peka terhadap norma sosial dan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Dampak sosial lain yang tidak kalah penting adalah meningkatnya angka kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak. Anak-anak yang terpapar pornografi menjadi lebih rentan terhadap pelecehan seksual, baik secara daring maupun luring. Hal ini disebabkan oleh maraknya eksploitasi seksual melalui platform digital yang sulit untuk diawasi, seperti layanan pesan instan, media sosial, serta situs berbasis langganan. Di samping itu, pornografi juga berpotensi memperkuat stereotip gender yang merugikan perempuan, di mana mereka sering kali diposisikan sebagai objek seksual dalam konten yang dikonsumsi oleh publik. Dari sudut pandang ekonomi, meskipun bisnis pornografi digital dapat memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok tertentu, praktik ini juga berkontribusi pada perdagangan manusia dan eksploitasi seksual. Banyak individu, terutama perempuan dan anak-anak, terperangkap dalam industri ini akibat faktor ekonomi, tekanan sosial, atau manipulasi digital. Ini menunjukkan bahwa dampak pornografi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga terkait dengan aspek hukum dan hak asasi manusia.
Tantangan dalam penegakan hukum terhadap bisnis pornografi digital di Indonesia sangatlah kompleks dan bervariasi. Salah satu hambatan utama adalah perkembangan teknologi yang sering kali melampaui kecepatan pembaruan regulasi. Meskipun Undang-Undang Pornografi dan UU ITE telah mengatur larangan serta sanksi bagi produksi, distribusi, dan konsumsi konten pornografi, implementasinya masih menemui banyak kendala. Salah satunya adalah anonimitas pelaku yang memanfaatkan teknologi enkripsi dan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk menyembunyikan identitas dan lokasi mereka, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk melacaknya. Selain itu, upaya pemblokiran situs dan platform yang menyajikan konten pornografi sering kali tidak efektif, karena situs-situs tersebut dapat dengan cepat berpindah server atau menggunakan domain baru yang sulit terdeteksi.
Di samping itu, keterbatasan sumber daya dan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan siber juga menjadi tantangan tersendiri. Tidak semua petugas memiliki keahlian teknis yang cukup untuk melacak dan mengungkap jaringan bisnis pornografi digital yang semakin canggih. Kerja sama dengan penyedia layanan internet dan platform digital seringkali terhambat oleh kebijakan privasi serta perbedaan regulasi di tingkat global. Di sisi lain, kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya serta konsekuensi hukum dari konsumsi dan distribusi konten pornografi digital membuat bisnis ini tetap berkembang. Oleh karena itu, diperlukan strategi penegakan hukum yang lebih komprehensif, yang mencakup peningkatan kapasitas teknologi aparat, edukasi publik, serta kerja sama lintas negara untuk menekan peredaran konten ilegal ini.
Analisis Kelemahan dalam Penyebaran Bisnis Pornografi
Pada awal tahun 2024, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengalami perubahan sejak perubahan pertama yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang di mana memuat pada perubahan “Perbuatan yang Dilarang” dan “Ketentuan Pidana” pada perubahan kedua, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Namun, regulasi dan aturan yang ada memiliki kelemahan dalam beberapa aspek seperti pengawasan dan penegakan hukum terhadap konten pornografi digital.
Kelemahan Definisi dan Pengaturan dalam UU Pornografi
Secara definisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 1991, pornografi didefinisikan sebagai “penggambaran perilaku erotis melalui tulisan atau gambar dengan tujuan membangkitkan hasrat seksual”. Selain itu, pornografi juga mencakup “materi bacaan yang secara sengaja dibuat untuk merangsang gairah seksual.”
Sementara itu, menurut Imade Bantem, awalnya pornografi hanya terbatas pada bentuk tulisan, namun kini telah berkembang ke berbagai media, termasuk cetak seperti gambar, foto, dan iklan, serta media elektronik seperti film, rekaman video, dan telepon. Sedangkan jika ditinjau dari aspek yuridis itu sendiri, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, menjelaskan dan mendefinisikan bahwa: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Dari definisi diatas, definisi tersebut memang sangat luas, namun masih memiliki kelemahan, terutama dalam menentukan batasan eksplisit mengenai apa yang dikategorikan sebagai pornografi. Pasal-pasal yang mengatur pornografi dalam undang-undang ini hanya menggunakan frasa “melanggar kesusilaan” tanpa memberikan parameter yang lebih spesifik. Akibatnya, terdapat berbagai interpretasi yang berbeda dalam penerapannya.
Ketidakjelasan definisi ini juga tampak dalam Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang hanya menyebutkan larangan terhadap “hal-hal yang melanggar kesusilaan” tanpa memberikan batasan yang jelas. Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Bab XIV Pasal 281-283, yang mengatur tindak pidana asusila serta larangan penyebaran dan produksi materi yang dianggap melanggar kesusilaan. Ketiadaan batasan yang tegas dalam ketentuan tersebut menyebabkan kesulitan dalam penerapan hukum, terutama dalam konteks digital di mana penyebaran konten semakin tidak terbendung.
Salah satu aspek krusial yang perlu diperjelas dalam UU Pornografi adalah kategori perbuatan yang dianggap melanggar kesusilaan (aanstotelijk van de eerbaarheid). Dalam hukum pidana, prinsip objektivitas sangat penting agar setiap ketentuan dapat ditegakkan secara konsisten tanpa membuka ruang interpretasi yang beragam. Namun, frasa “melanggar kesusilaan” dalam KUHP bersifat relatif karena dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu, sehingga berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Hal ini tentu saja berdampak dalam beberapa sisi seperti, kurangnya standar yang jelas dalam membedakan antara seni, budaya, dan pornografi menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi hukum. Banyak kasus yang berkaitan dengan seni dan ekspresi budaya memicu perdebatan apakah termasuk dalam kategori pelanggaran pornografi atau tidak. Akibatnya, terdapat celah hukum yang memungkinkan sebagian pelaku pornografi berlindung di balik dalih kebebasan berkesenian.
Tantangan dalam Penyebaran terhadap Bisnis Pornografi Digital
Salah satu alasan mengapa bisnis pornografi masihlah banyak di Indonesia adalah kurangnya penegakan hukum yang kuat di Indonesia. Penegakan hukum terhadap bisnis pornografi digital di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Hal ini dikemukakan oleh Dan Jekker B. Svantesson, bahwa faktor dari perluasan pornografi digital itu sendiri tidak lepas dari karakteristik internet sebagai media komunikasi yang modern. Karakteristik internet yang memungkinkan siapa saja untuk membuat dan mengakses konten dari berbagai lokasi tanpa kontrol yang ketat membuat pemblokiran situs-situs pornografi menjadi sulit dilakukan secara efektif. Karakteristik internet yang dikemukakan menurut Dan Jekker B. Svantesson yaitu:
- Tanpa Batas Geografis (Borderless): Internet tidak terikat oleh batasan wilayah suatu negara. Dengan akses yang tak terbatas, internet memungkinkan individu untuk berkomunikasi dan berbagi informasi secara global tanpa melalui pemeriksaan atau kendala batas negara. Sama seperti telepon, seseorang dapat dengan mudah terhubung dengan orang lain di belahan dunia manapun.
- Tidak Bergantung pada Lokasi Geografis (Geographical Independence): Karakteristik ini mirip dengan sifat borderless, tetapi lebih menitikberatkan pada kesetaraan akses Pengguna internet dari berbagai wilayah di dunia dapat memperoleh informasi yang sama tanpa ada perbedaan berdasarkan lokasi mereka. Selain itu, informasi yang diakses seseorang yang berada dekat dengan server website akan sama persis dengan informasi yang diterima oleh pengguna yang mengakses dari lokasi yang sangat jauh. Aspek lainnya adalah kecepatan akses yang hampir instan, di mana perbedaan waktu dalam mengakses sebuah website antara pengguna di berbagai belahan dunia sangat kecil.
- Minim Ketergantungan pada Bahasa (Limited Language Dependence): Internet masih memiliki keterbatasan dalam penggunaan bahasa. Mayoritas informasi di internet menggunakan Bahasa Inggris, meskipun belakangan ini semakin banyak situs web yang menyediakan opsi dalam berbagai bahasa. Contoh dari fenomena ini adalah mesin pencari (search engine) yang telah mendukung berbagai bahasa untuk meningkatkan aksesibilitas bagi pengguna global.
- Komunikasi Massal (One to Many): Tidak seperti telepon atau faksimile yang hanya memungkinkan komunikasi satu lawan satu, internet memungkinkan penyebaran informasi dari satu sumber ke banyak orang secara Website yang sudah dipublikasikan dapat diakses oleh jutaan pengguna dari berbagai negara dalam waktu yang sama. Sifat ini merupakan konsekuensi langsung dari karakteristik internet yang tanpa batas (borderless) dan tidak terikat wilayah tertentu (geographical independence), sehingga menjadikan internet sebagai media komunikasi yang sangat sulit dikendalikan atau diawasi secara efektif.
- Distribusi Informasi yang Mudah (Low Threshold Information Distribution): Internet memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi tanpa perlu melalui banyak tahapan atau hambatan. Seseorang dapat mengakses informasi yang dibutuhkan secara langsung melalui berbagai situs web yang tersedia, tanpa prosedur yang rumit atau batasan administratif yang ketat.
- Penggunaan yang Luas (Widely Used): Dengan semua karakteristik di atas, internet menjadi teknologi yang dapat diakses dan digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Tidak ada batasan ruang dan waktu dalam penggunaan internet, sehingga informasi dapat diperoleh secara real-time dan dibagikan kepada banyak orang secara bersamaan.
- Minimnya Pengawasan Terpusat (Lack of Central Control): Tidak ada satupun lembaga global yang memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi atau mengontrol internet secara menyeluruh. Pengawasan terhadap penyalahgunaan internet hanya dapat dilakukan oleh otoritas lokal di masing-masing negara, yang sering kali terbatas dalam cakupan dan Sifat internet yang tidak mengenal batas geografis ini membuat regulasi dan penindakan terhadap penyalahgunaan menjadi tantangan besar di tingkat internasional.
Berdasarkan karakteristik ini, dapat disimpulkan bahwa website yang mengandung konten pornografi dapat dibuat, diakses, dan digunakan oleh siapa saja di seluruh dunia tanpa ada pengawasan yang efektif dan menyeluruh. Hal ini menjadikan internet sebagai platform yang sangat sulit dikendalikan dalam konteks regulasi konten, termasuk dalam upaya pemberantasan pornografi digital.
Keterbatasan dalam Penerapan Hukum
Keterbatasan Yurisdiksi dan Penegakan Hukum Lintas Negara
Dalam aspek yuridis, Indonesia telah mengatur yurisdiksi dari dunia maya di dalam UU ITE. Yurisdiksi hukum pidana ini tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan:
“Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”.
Pasal ini dengan jelas menyatakan bahwa hukum ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan siber, baik yang berada di dalam maupun di luar Indonesia, asalkan tindakannya memiliki dampak di wilayah hukum Indonesia. Namun, dalam praktiknya, penerapan ketentuan ini masih menghadapi berbagai kendala.
Banyak pelaku kejahatan digital memanfaatkan perbedaan regulasi antarnegara untuk menghindari jeratan hukum. Beberapa negara memiliki kebijakan yang lebih longgar terhadap bisnis pornografi digital, sehingga menyulitkan Indonesia dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku yang berbasis di negara tersebut. Selain itu, kurangnya perjanjian kerja sama hukum dan ekstradisi dengan negara lain seringkali menjadi kendala dalam menindak pelaku yang berada di luar yurisdiksi Indonesia. Dalam hukum yang dianut Amerika Serikat, dikenal “Theory of International Space”, yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki kewenangan dalam menyelesaikan kejahatan yang terjadi di ruang siber tanpa memandang batasan geografis. Konsep ini sejalan dengan prinsip perlindungan hukum (protective principle), di mana suatu negara dapat memberlakukan hukum pidananya terhadap pelaku yang bertindak di luar negeri jika kejahatannya membahayakan keamanan atau kepentingan negara tersebut.
Dalam konteks Indonesia, asas ini menjadi relevan dalam menangani bisnis pornografi digital yang dampaknya meluas ke dalam negeri, meskipun server atau pelaku utamanya berbasis di luar negeri. Selain itu, dalam kejahatan lintas negara seperti bisnis pornografi digital, terdapat prinsip au dedere au judicare, yang menegaskan bahwa setiap negara memiliki kewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional, atau bekerja sama dengan negara lain dalam menangkap dan mengadilinya. Sayangnya, implementasi prinsip ini masih menemui kendala karena perbedaan kebijakan antar negara, minimnya koordinasi internasional, serta lambatnya prosedur hukum dalam menangani kejahatan siber yang bersifat dinamis. Dengan demikian, meskipun UU ITE telah memberikan landasan hukum bagi yurisdiksi Indonesia dalam menangani bisnis pornografi digital, efektivitasnya masih sangat bergantung pada kerja sama lintas negara. Tanpa mekanisme yang kuat dalam hal ekstradisi, koordinasi penegakan hukum, serta penguatan regulasi di tingkat internasional, upaya untuk menindak pelaku bisnis pornografi digital yang beroperasi dari luar negeri akan tetap menghadapi hambatan yang signifikan.
Keterbatasan pemahaman Penegak Hukum
Penegakan hukum terhadap bisnis pornografi digital membutuhkan koordinasi yang efektif antara berbagai lembaga, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sayangnya, dalam praktiknya, koordinasi antar lembaga ini seringkali menghadapi berbagai kendala, yang menyebabkan lemahnya implementasi regulasi yang ada.
Salah satu faktor utama yang menghambat efektivitas penegakan UU ITE adalah keterbatasan pengetahuan dan keahlian aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan berbasis teknologi. Hingga saat ini, masih banyak aparat yang belum mendapatkan pelatihan yang memadai mengenai teknologi informasi serta metode penegakan hukum dalam ranah digital. Hal ini berdampak pada kesulitan dalam menyelidiki dan membuktikan kasus-kasus kejahatan siber, termasuk bisnis pornografi digital, yang akhirnya menyebabkan rendahnya tingkat penyelesaian perkara yang berkaitan dengan UU ITE. Selain kurangnya kapasitas individu aparat penegak hukum, ketidaksempurnaan mekanisme koordinasi antar lembaga juga menjadi kendala utama. Efektivitas penegakan hukum dalam bidang kejahatan siber sangat bergantung pada sinergi antara berbagai institusi. Namun, dalam banyak kasus, kelemahan dalam sistem koordinasi dan birokrasi antar lembaga menghambat respon cepat terhadap kejahatan digital. Salah satunya adalah keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia yang kompeten turut menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum siber di Indonesia, sehingga banyak kasus yang tidak dapat ditangani secara optimal.
Di samping itu, dukungan terhadap infrastruktur teknologi juga memainkan peran penting dalam memperkuat penegakan hukum. Negara- negara maju telah membangun sistem hukum yang dilengkapi dengan perangkat teknologi canggih guna mendukung penyelidikan dan penindakan terhadap kejahatan siber. Dalam konteks Indonesia sendiri, maka perlu untuk menekankan bahwa pembangunan infrastruktur digital dan pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penegakan hukum sangat diperlukan guna meningkatkan responsivitas serta efektivitas UU ITE.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bisnis pornografi digital di Indonesia masih menjadi tantangan besar dalam ranah hukum. Meskipun telah terdapat regulasi yang mengatur tentang pornografi digital melalui UU Pornografi dan UU ITE, kelemahan dalam definisi hukum, keterbatasan dalam penegakan hukum, serta tantangan teknologi menjadi hambatan utama dalam pemberantasan bisnis ini. Kelemahan regulasi terkait definisi pornografi dalam UU Pornografi dan UU ITE menyebabkan ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya menghambat upaya penegakan hukum yang efektif. Selain itu, kendala yurisdiksi internasional membuat pelaku bisnis pornografi digital yang berbasis di luar negeri sulit untuk ditindak. Tantangan lainnya adalah rendahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan siber serta lemahnya kerja sama internasional dalam pemberantasan pornografi digital.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki regulasi yang ada, meningkatkan kerja sama lintas negara dalam penegakan hukum, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dan konsekuensi hukum dari pornografi digital. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, diharapkan bisnis pornografi digital dapat ditekan, sehingga dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat, terutama anak-anak, dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh konten pornografi di dunia digital.
Referensi
Mansur, Dikdik M. Arief, dan Elisatris Gultom. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
Anggraini, Malwa, dan Syafrida Nurrachmi Febriyanti. “Iklan Digital: Pornomedia dan Konten Seksualitas.” JIIP (Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan) 6, No. 4 (April 2023): 2339-2341.
Fajrin, R. “Kendala Penerapan UU ITE dalam Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Siber di Indonesia.” Jurnal Hukum dan Kebijakan 10, No. 1 (2020): 23-34.
Rachman, B. “Penafsiran Multitafsir dalam UU ITE dan Implikasinya pada Kebebasan Berekspresi.” Jurnal Hukum dan Masyarakat 6, No. 1 (2021): 45-58.
Rachmaniar, Puji Prihandini, dan Preciosa Alnashava Janitra. “Perilaku Penggunaan Smartphone dan Akses Pornografi di Kalangan Remaja Perempuan.” Jurnal Komunikasi Global 7, No. 1 (2018): 3-9.
Simamora, Desvi Christina. “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemilik Akun Instagram yang Mengandung Konten Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.” Jurnal JOM Fakultas Hukum 4, No. 1 (Februari 2017): 2.
Svantesson, Dan Jekker B. “The Characteristics Making Internet Communication Challenge Traditional Models of Regulation – What Every International Jurist Should Know About the Internet.” International Journal of Law and Information Technology 13, No. 1 (2005): 44-59.
Ramdhani, Muhammad Saufi, dan Nur Amin Barokah Asfari. “Pornografi pada Remaja: Faktor Penyebab dan Dampaknya.” Skripsi. Universitas Negeri Malang. 2022.
BPS. Proporsi Individu yang Menguasai/Memiliki Telepon Genggam Menurut Kelompok Umur (Persen), 2021-2023. Diakses pada 17 Maret 2025. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTIyMiMy/proporsi-individu- yang-menguasai-memiliki-telepon-genggam-menurut-kelompok- umur.html
Mahbub, Amri. “Ini Media Sosial Penyumbang Konten Porno di Indonesia.” Tempo.co. Diakses pada 17 Maret 2025. https://www.tempo.co/digital/ini- media-sosial-penyumbang-konten-porno-di-indonesia-1150364.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Bandem, Imade. Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi Dalam Seni (Tanggapan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi). Makalah disampaikan dalam Semiloka RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif HAM yang diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia, Jakarta, 27-28 Februari 2006.
Penulis
Faiza Aisyah Kamila, Junior Chrystopher Dudu, dan Raymond Imanuel Pardamaian
ALSA Local Chapter Universitas Udayana
Reviewer
Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H.
Respon (1)