Opini

Memotret Diskriminasi Masyarakat Adat

261
×

Memotret Diskriminasi Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini
Masyarakat Adat

Dewasa ini, topik mengenai eksistensi masyarakat adat tidak luput dari sorotan publik. Berbagai media online terus menggaungkan kabar mengenai keadaan masyarakat adat, penderitaan berkepanjangan yang mereka alami akibat perubahan iklim, kerusakan lingkungan, tingkat kemiskinan yang tinggi, akses yang buruk terhadap pendidikan, kesehatan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih luas.

Baca juga: Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Eksistensi Masyarakat Adat

Masyarakat adat atau Indigenous People adalah kelompok yang hidup secara turun-temurun dengan menempati wilayah geografis tertentu, sehingga mereka memiliki hubungan kuat dengan tanah, wilayah, serta sumber daya alam sekitar wilayah adat-nya.

Masyarakat adat bukan sekadar formalitas penjaga sumber daya alam, mereka memainkan peran penting untuk menjaga keseimbangan negara dengan alam maupun budaya yang mendukung eksistensi indonesia sebagai negara multikultural. Telah diatur pada Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945, bahwa masyarakat adat itu sebagai bagian dari kekayaan nasional.  Masyarakat adat turut menghargai apa yang diberikan alam kepada-nya dengan mengelola sumber daya alam dengan baik secara berkelanjutan, berbeda dengan pandangan modern yang cenderung eksploitatif.

Pengakuan eksistensi masyarakat adat telah tercantum pada konstitusi Internasional dan nasional yakni; Konvensi ILO 107 (1957) dan ILO (1989), Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat(UNDRIP) 2007, Deklarasi RIO 1992, dan Konstitusi Nasional Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.  

Diskriminasi Ekonomi di NTT

Walaupun telah ada konstitusi yang mengakui secara sah, tidak menyurutkan para aktor penguasa untuk menguasai wilayah masyarakat adat dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang telah dijaga. Berbagai kasus telah membuktikan, bahwa pembangunan meneruskan semangat kolonialisme dengan merampas tanah masyarakat adat, melakukan peminggiran dan merusak pola produksi dan tatanan politik masyarakat adat. Hal ini kemudian membuat gerakan masyarakat adat muncul dan menguat (Yance, 2010).

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, eksploitasi sumber daya alam merupakan salah satu cara dalam meningkatkan pembangunan khususnya pertumbuhan ekonomi. Skema seperti ini justru berkontribusi besar merusak tatanan masyarakat adat yang banyak hidup di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Pola seperti ini menghadap-hadapkan masyarakat adat dengan pemilik modal dan pemerintah sebagai fasilitator di lapangan.

Misalnya saja pada kasus yang terjadi baru-baru ini di wilayah Poco Leok di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang melibatkan pemerintah (Badan Pertanahan Nasional/BPN) dan PT PLN dimana pemerintah melakukan upaya paksa untuk memperluas wilayah operasi penambangan panas bumi PLTP Ulumbu. Dampak daripada rencana perluasan pengeboran itu berpotensi besar menghilangkan lahan dan “habitat”, serta merusak bentang-bentang air, bahan bongkaran padat dan limbah, semburan gas, debu dan bising, serta kesehatan dan keselamatan kerja.

Adapun pada Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Masyarakat adat dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai telah mengalami kriminalisasi yang dilakukan PT Kristus Raja Maumere pada 22 januari 2025 lalu dengan melakukan penggusuran di atas tanah ulayat mereka.  Rupanya penggusaran tersebut dilakukan sebagai upaya ‘pembersihan’ sebab pihaknya sudah mengantongi hak mengelola tanah tersebut untuk pengembangan bisnis perkebunan kelapa. Penggusuran dilakukan atas buntut dari konflik lahan yang berlangsung bertahun-tahun antara masyarakat adat dengan perusahaan milik Keuskupan Maumere.

Baca juga: Hukum Adat

Kebijakan Hukum yang Adil dan Inklusif

Menilik pada dua kasus yang terjadi bilamana diamati, eksistensi masyarakat adat ini bagai “hama” yang harus dibersihkan. Hak mereka dirampas atas kepentingan kelompok tertentu. Diskriminasi besar-besaran mulai dari peminggiran hak ekonomi yang mana seharusnya mendapatkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam yang telah dijaga diatur pada UU No.50/1960 tentang Agraria. Artinya masyarakat adat memiliki hak penuh untuk menempati wilayahnya secara aman dan menikmati hasil SDA tersebut.

Diskriminasi tidak hanya didapat dari aktor penguasa melainkan dari aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung malah melakukan kriminalisasi.

Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang dikemukakan Soekanto (2001: 91) bahwa “Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan”. Masyarakat adat didefinisikan sebagai “Sebuah kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua warganya” (Hazairin, 1970:44).

Penghormatan terhadap eksistensi masyarakat adat diejawatahkan dalam berbagai bentuk kebijakan dan keputusan baik Nasional maupun Internasional. Kebijakan hukum yang tidak berpihak pada masyarakat adat selalu memposisikan masyarakat adat sebagai korban, padahal sejatinya masyarakat adat dapat menjadi agen perubahan berbekal pengetahuan lokal dan pengalaman masyarakat adat yang didukung dengan kebijakan hukum yang adil dan inklusif.

Kebijakan hukum yang adil dan inklusif harus memastikan perlindungan HAM dan harus memastikan partisipasi yang setara bagi semua pihak. Oleh karena itu, menjadi suatu keniscayaan bagi setiap negara untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.

Penulis

Sofi Maharani

Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) dan Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *