Pengawasan Mahkamah Konstitusi
Berangkat dari pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai implementasi dari pemikiran Hans Kelsen, bahwa dibutuhkan sebuah organ yang bukan legislatif untuk menguji implementasi konstitusi pada sebuah produk hukum. Sehingga, dibentuklah sebuah organ yudikatif berupa Mahkamah Konstitusi yang kewenangan utamanya adalah menguji konstitusionalitas undang-undang.
Mahkamah Konstitusi dibentuk melalui Pasal 24C yang lahir sebagai salah satu implikasi perubahan ketiga UUD 1945 yang mengamanatkan segala ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut, untuk dapat mengimplementasikan ketentuan tersebut, dibentuk Undang-Undang 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003, sehingga diperingati sebagai hari lahir Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Riba Menurut Hukum Perbankan Islam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan mengenai kewenangan mahkamah konstitusi yang cukup luas, salah satunya adalah menguji UU terhadap UUD. Salah satu yang menjadi perhatian dari pasal tersebut adalah bahwa putusan MK bersifat final. Hingga hari ini, diketahui bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat meninjau kembali putusan MK. Sehingga, dengan kewenangan yang besar dan strategis menjadikan dampak yang dihasilkan dari sebuah putusan MK akan menjadi dampak yang besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Henc Marseveen menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang memengaruhi sebuah wewenang, antara lain berupa pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Bahwa komponen pengaruh menjadi yang paling disoroti dalam melihat kewenangan mahkamah konstitusi yang luas dan strategis dewasa ini. Sehingga, untuk menjaga bahwa dampak dari putusan MK tetap pada koridor demokrasi, diperlukan pengawasan terhadap lembaga tersebut.
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan dalam MK terdiri dari 9 (sembilan) orang hakim yang disebut hakim konstitusi. Mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi tersebut adalah melalui penetapan presiden terhadap 3 (tiga) nama yang diajukan masing-masing dari Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Pengawasan hakim konstitusi sebelumnya dilihat sebagai kewenangan Komisi Yudisial (KY).
Setelah dikeluarkannya Putusan MK Nomor 05/PUU-IV/2006 yang pada pokoknya tidak lagi menjadikan pengawasan terhadap hakim konstitusi merupakan kewenangan KY. Hal ini karena secara penafsiran sistematis, pengaturan mengenai KY pada Pasal 24B UUD 1945 dan pengaturan mengenai MK yang baru diatur pada pasal setelahnya yakni Pasal 24C UUD 1945 memperlihatkan bahwa memang berdasarkan original intent pembentukan KY tidak pernah dimaksudkan untuk mengawasi MK.
Selain itu, pertimbangan lain adalah bahwa salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang mana KY memiliki potensi untuk terlibat sengketa. Pengawasan KY atau lembaga lain terhadap MK dikhawatirkan dapat memengaruhi independensi MK itu sendiri.
Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawas Internal
Peran KY dalam melakukan pengawasan terhadap MK coba diaktifkan kembali melalui PERPU 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU MK. Pada pokoknya, PERPU 1/2013 mengamanatkan KY untuk bersama-sama dengan MK membentuk kode etik MK, membuat MKMK permanen, serta membentuk panel ahli untuk menguji kelayakan hakim konstitusi.
Namun, norma tersebut diujikan ke MK karena dianggap cacat secara formil sebab PERPU 1/2013 tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Disamping itu,, mahkamah masih pada pertimbangan yang sama untuk menilai bahwa unsur pengawasan yang dilakukan oleh KY ataupun lembaga eksternal lain terhadap MK tidak relevan karena dapat memengaruhi independensi MK itu sendiri.
Melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014, UU penetapan perpu tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga dasar hukumnya kembali kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan PMK Nomor 1 Tahun 2013. Untuk kepentingan penyelarasan peraturan dan menindaklanjuti Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014, dibentuklah PMK Nomor 2 Tahun 2014 tentang MKMK (PMK 2/2014).
Pasca putusan a quo, MK menjadi lembaga yang pengawasannya hanya dilakukan secara Internal. Pengawasan internal MK dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai keberadaan Dewan Etik dan MKMK, karena Dewan Etik dan MKMK merupakan organ yang dibentuk dan berada dalam naungan MK, maka dasar pengaturannya terletak di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
Dasar hukum yang pada akhirnya secara spesifik mengatur keberadaan dewan etik dan majelis kehormatan ini adalah PMK 2/2014 yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Dewan Etik dibentuk oleh MK untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta kode etik hakim konstitusi. Lebih lanjut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) adalah perangkat bentukan MK yang berwenang memeriksa, memutus, dan menindaklanjuti laporan pelanggaran kode etik hakim konstitusi melalui Dewan Etik.
Sehingga berdasarkan mekanisme yang ada pada PMK 2/2014, Dewan Etik merupakan perangkat tetap yang akan selalu bertugas secara day to day untuk mengawasi penegakan kode etik hakim konstitusi. Sedangkan, MKMK adalah perangkat ad hoc yang dibuat untuk kepentingan dan waktu tertentu dalam rangka menindaklanjuti laporan yang masuk melalui Dewan Etik. Sehingga keberadaan MKMK bergantung pada usul yang disampaikan oleh Dewan Etik kepada Ketua Mahkamah Konstitusi secara tertulis.
Baca juga: Menelisik Jejak Konstitusi
Dinamika Pengawasan Mahkamah Konstitusi
Sondang Siagian menyatakan bahwa pengawasan mencakup serangkaian proses pengamatan kegiatan organisasi untuk menjamin bahwa setiap hal nya sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Bahwa, tujuan pembentukan MK secara eksplisit tertuang dalam poin menimbang Undang-Undang 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), bahwa pada pokoknya MK dibentuk dalam rangka menjaga implementasi konstitusi.
Implementasi konstitusi bukan perkara mudah, kualifikasi hakim konstitusi yang akan memutuskan bahwa suatu hal sesuai atau tidak dengan konstitusi selalu menjadi perhatian. Bagaimana persyaratan menjadi hakim konstitusi, cara pemilihan, proses penetapan, kode etik, hingga putusan-putusan yang dikeluarkan selalu menjadi sorotan publik, karena implikasi dari setiap putusannya selalu berdampak luas dan masif.
Dalam rangka mencapai implementasi konstitusi yang berkualitas dan berdemokrasi, kewenangan untuk melakukan itu perlu dibersamai oleh pengawasan. Keberadaan Dewan Etik dan MKMK ad hoc dinilai lemah dalam hal melakukan pengawasan terhadap MK. Keberadaannya yang merupakan buatan MK, diatur melalui Peraturan MK, dan ditetapkan melalui Keputusan Ketua MK menjadikan kedua organ tidak langsung ini memiliki independensi yang lemah dalam melakukan pengawasan terhadap organ langsungnya berupa MK.
Pasal 27A ayat (2) huruf b Undang-Undang 7/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU MK pada pokoknya mengamanatkan keanggotaan MKMK terdiri atas satu orang anggota KY. Hal tersebut diujikan kembali ke MK serta diputus melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022 yang mengamanatkan bahwa unsur anggota KY dalam MKMK yang tertuang dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 tidak berkekuatan hukum tetap. Lebih lanjut, peraturan turunan yang implementatif diselaraskan kembali melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi 1/2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (PMK 1/2023) yang pada pokoknya mengamanatkan pembentukan MKMK permanen dengan masa jabatan 3 tahun.
Penguatan kedudukan organ MKMK ini pada dasarnya tidak besar memengaruhi pengawasan terhadap MK sebagaimana yang diharapkan publik. Tiga tahun jabatan para hakim MKMK tidak cukup mewujudkan jaminan pengawasan berkualitas, karena penyampaian laporan tetap dilakukan kepada Ketua MK. Hal ini menimbulkan disparitas pertimbangan terhadap apa yang diputuskan MK terhadap pengawasan dari unsur KY.
MK dalam berbagai putusannya yang melibatkan KY selalu menilai bahwa KY sebagai lembaga yang berpotensi terlibat sengketa lembaga negara tidak bisa melakukan pengawasan terhadap MK karena MK yang berwenang memutus sengketa lembaga negara. Dalam konteks MKMK sebagai lembaga pengawasan yang berada di bawah Ketua MK menghadapi hal yang sama, bahwa seharusnya MKMK tidak melakukan pelaporan atau berada di bawah Ketua MK karena Ketua MK berpotensi melakukan pelanggaran kode etik yang diputus melalui putusan MKMK.
Reformulasi penetapan MKMK permanen diharapkan dapat memperkuat pengawasan hakim konstitusi karena penguatan kedudukan MKMK. Pembentukan MKMK permanen perlu dianggap sebagai langkah besar dalam upaya meningkatkan pengawasan MK serta mencapai tujuan pengawasan itu sendiri. Namun, tantangan yang lebih besar dan lebih penting selanjutnya adalah memastikan kualitas pengawasan MKMK terhadap MK tetap berjalan secara berkualitas, berdemokrasi, dan independen.
Kesimpulan
Pembentukan Mahkamah Konstitusi didasarkan pada prinsip-prinsip Hans Kelsen yang bertujuan untuk menciptakan lembaga non-legislatif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Peran MK tersebut termasuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, menyelesaikan perselisihan atas kekuasaan pemerintah, dan memutuskan pembubaran partai politik.
Baca juga: Pengertian Hukum
Kewenangan MK yang bersifat final, menghasilkan implikasi yang signifikan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Disamping kewenangan yang kompleks tersebut, pengawasan terhadap MK masih menjadi isu yang terus berdinamika. MK saat ini hanya dipayungi oleh pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, reformasi terkini ditujukan untuk memperkuat pengawasan melalui pembentukan MKMK permanen untuk memastikan pemantauan pengadilan yang berkualitas, demokratis, dan independen.
Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316].
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554].
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XX/2022.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, “Rekonstruksi Kedudukan dan Kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai Upaya Memperkuat Integritas Hakim Konstitusi”, 2018, mkri.id.
Sri Nur, “Metode Perolehan dan Batas-Batas Wewenang Pemerintah”, Jurnal Administrative Law & Governance, No. 3, Vol. 3, September 2020.