Berita

UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Urgensinya

157
×

UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Urgensinya

Sebarkan artikel ini
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Urgensinya

Dalam beberapa waktu terakhir, isu mengenai Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga kembali marak dibicarakan. Banyak kalangan menilai bahwa RUU PPRT harus segera disahkan untuk memberikan perlindungan dan penjaminan hukum kepada para pekerja rumah tangga. Hal ini berangkat dari kondisi status quo saat ini yang menempatkan pekerja rumah tangga pada posisi seolah tidak mendapatkan perhatian khusus dari negara.

Di mana tidak terdapat pengaturan yang jelas terkait dengan legal standing dari pekerja rumah tangga, serta tidak adanya pranata hukum yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga. Secara historis, RUU PPRT ini pada dasarnya telah disuarakan sejak tahun 2004 (awal masuk ke dalam program legislasi DPR). Namun hingga sekarang, sudah lebih dari dua dekade belum kunjung menemui titik terang.

Pada tahun 2023 kemarin RUU telah secara resmi masuk ke dalam prolegnas prioritas, hal inilah yang membuat para akademisi, praktisi, dan aktivis terus menerus menyuarakan agar DPR segera mengesahkan RUU ini menjadi UU.

Baca juga: Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bentuk Jaminan Sosial oleh Negara

Kekosongan Hukum

Secara yuridis, regulasi yang ada saat ini masih kurang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga. Jika berbicara mengenai lingkup pekerjaan, maka ruang lingkup pekerja rumah tangga seharusnya diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun jika melihat lebih jauh, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja terkhusus terkait perubahan atas Undang-Undang Ketenagakerjaan masih mengklasifikasikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh, padahal di sisi lain hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga adalah hubungan antara orang per orang.

Konsekuensi logis dari hal tersebut menempatkan pekerja rumah tangga diluar dari rezim pengaturan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Artinya dalam mekanisme status quo tidak terdapat adanya perlindungan hukum yang jelas bagi pekerja rumah tangga. Di mana pekerja rumah tangga masih dianggap sebagai pekerjaan dalam lingkup informal sehingga kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan pekerja profesional lainnya.

Kekosongan hukum tersebut menempatkan pekerja rumah tangga seolah sebagai seseorang yang bekerja pada situasi perbudakan modern yang hak-haknya dirampas. Hal tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi, dimana Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menjamin hak setiap orang dan warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan upah serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Kerentanan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia

Kondisi sosial di Indonesia yang menempatkan para pekerja rumah tangga sebagai suatu entitas yang kurang dihargai dengan mengkonotasikan mereka dengan istilah pembantu menunjukkan adanya kerentanan bagi para pekerja rumah tangga.

Ketiadaan regulasi yang jelas, membuat para pekerja rumah tangga sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti penundaan pembayaran gaji sampai berbulan-bulan, serta tidak adanya kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab mereka, di mana mereka  sering diberikan tugas diluar kapasitas mereka atau yang tidak diperjanjikan dalam perjanjian kerja. Tidak hanya itu, mereka juga rentan menjadi korban kekerasan seksual dan kekerasan fisik lainnya yang dilakukan oleh pemberi kerja.

Baca juga: Represi Hukum terhadap Kebebasan Seni: Antara Proteksi Ekspresi dan Kontrol Kekuasaan

Salah satu faktor utama dari terjadinya perlakuan diskriminatif dan kekerasan seksual tersebut adalah karena adanya relasi kuasa. Pekerja rumah tangga cenderung tidak dapat melakukan apapun jika mereka memperoleh perlakuan diskriminatif dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pemberi kerja karena mereka memiliki status yang lemah dalam pekerjaan mereka, dimana mereka tersandera dengan pekerjaan mereka yang berpotensi hilang (dipecat) jika mereka melawan.

Selain itu, relasi kuasa tersebut melekat pada status dari pekerja rumah tangga yang cenderung adalah perempuan yang sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual dari laki-laki yang menganggap dirinya lebih superior. Beban ganda tersebutlah yang membuat mereka tersandera pada siklus perlakuan diskriminatif yang merampas hak-hak mereka.

Materi Muatan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Dalam RUU PPRT, status pekerjaan di ranah domestik seperti pekerja rumah tangga lebih diakui dan dijamin hak-haknya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 RUU PPRT yang memberikan penjaminan hak bagi pekerja rumah tangga untuk dapat bekerja dengan waktu yang layak, dapat memperoleh hak cuti, mendapatkan upah dan tunjangan hari raya sesuai dengan kesepakatan, bahkan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja seperti halnya bidang pekerjaan-pekerjaan lain yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Selain itu, RUU PPRT juga dinilai berperspektif feminis, dimana RUU tersebut dapat melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seksual yang sering dialami pekerja rumah tangga. Dalam pasal 30 RUU PPRT, dengan jelas menjabarkan bahwa pemberi kerja dapat dikenai hukuman pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah) apabila terbukti secara bersalah melakukan tindakan diskriminatif, pelecehan, dan kekerasan baik fisik maupun non fisik terhadap pekerja rumah tangga.

Baca juga: Hukum Tata Usaha Negara

Kesimpulan

Kekosongan hukum pada status quo, dimana pekerja rumah tangga tidak diakui dalam rezim Undang-Undang Ketenagakerjaan, telah menunjukkan adanya urgensi untuk mengesahkan RUU PPRT. RUU tersebut dapat memberikan perlindungan dan penjaminan hukum yang jelas bagi pekerja rumah tangga dari perlakuan diskriminatif dan tindak pidana kekerasan seksual, karena memberikan pengaturan yang komprehensif mulai dari hak-hak pekerja rumah tangga, lingkup pekerjaan , hingga pengaturan pidana.

Referensi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Muhammad Yafi Azhari, & Abdul Halim, “Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga dan Perlindungan Hukum di Indonesia”, Jurnal Media Iuris, Nomor 2, Volume 4, 2021.

Muthukuda Niriella, “Protection of the Female Domestic Migrant Workers: Concerns, Challenges and Regulatory Measures in Sri Lankan Context”, Journal of Humanities and Social Science, Nomor 11, Volume 4, 2014.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *