Pembungkaman seni ibarat paradoks dalam demokrasi. Di satu sisi, kita merayakan kemerdekaan, tapi di sisi lain, ekspresi dalam kesenian justru dikekang. Seni, yang seharusnya menjadi ruang bebas untuk berekspresi, sering kali dianggap sebagai ancaman ketika menyentuh isu-isu sensitif. Sejarah mencatat, dari zaman kolonial hingga reformasi, hukum kerap dijadikan tameng untuk membungkam kritik, alih-alih melindungi kebebasan berekspresi. Jika seni terus dikendalikan dengan dalih stabilitas, lalu di mana posisi demokrasi kita? Apakah hukum masih menjadi penjaga hak asasi manusia, atau justru alat kekuasaan untuk meredam suara yang berbeda?
Kebebasan berekspresi, termasuk dalam bentuk seni, merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta diakui dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Namun, dalam sejarah hukum Indonesia, negara kerap menggunakan perangkat hukum untuk membatasi ekspresi yang dianggap mengganggu stabilitas politik.
Baca juga: Reformulasi Pengawasan Mahkamah Konstitusi
Sejak era kolonial Hindia Belanda, hukum pidana telah menjadi alat kontrol terhadap wacana publik, sebagaimana terlihat dalam Pasal 153 dan 161 Wetboek van Strafrecht (WvS) yang melarang penyebaran gagasan yang dianggap subversif. Pasca-kemerdekaan, pola serupa berlanjut dengan berbagai regulasi yang membatasi seni, menunjukkan bahwa hukum di Indonesia lebih sering berpihak pada kepentingan penguasa ketimbang menjamin kebebasan berpendapat.
Rezim hukum Indonesia saat ini masih mewarisi tradisi hukum represif, sebagaimana tercermin dalam KUHP yang baru disahkan. Pasal 218 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden dan Pasal 256 tentang perizinan pertunjukan seni di ruang publik berpotensi menjadi alat kriminalisasi terhadap seniman yang mengangkat isu-isu kritis. Praktik ini mengingatkan pada penggunaan Haatzai Artikelen di era kolonial yang menekan ekspresi politik pribumi. Penggunaan hukum untuk membungkam ekspresi seni bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori, di mana regulasi di bawah konstitusi tidak boleh bertentangan dengan jaminan kebebasan berekspresi dalam UUD 1945.
Seni telah menjadi sarana perlawanan terhadap impunitas sejak masa Orde Baru, ketika berbagai ekspresi budaya diawasi ketat melalui Lembaga Sensor Film dan regulasi ketat lainnya. Seniman seperti Seno Gumira Ajidarma menggunakan sastra untuk mendokumentasikan pelanggaran HAM, sebagaimana dalam karyanya Saksi Mata yang menggambarkan kekerasan di Timor Timur. Reaksi negara terhadap seni yang kritis menunjukkan bahwa hukum lebih sering digunakan sebagai alat proteksi kepentingan politik dibandingkan sebagai penjaga supremasi hak asasi manusia.
Dalam teori hukum demokratis, sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Dworkin, kebebasan berekspresi adalah right as a trump yang tidak boleh dikorbankan hanya demi stabilitas politik. Pembatasan seni di Indonesia menunjukkan bahwa hukum masih digunakan sebagai instrumen kontrol ideologis, sebagaimana terlihat dalam penyensoran film, teater, dan seni rupa yang mengangkat kritik terhadap negara.
Di Amerika Serikat, perlindungan terhadap seni diatur dalam Amandemen Pertama Konstitusi, sedangkan di Eropa, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia memberikan perlindungan luas terhadap ekspresi budaya. Indonesia, sebagai negara demokratis, seharusnya tidak tertinggal dalam menjamin kebebasan seni sebagai bagian dari hak fundamental.
Beberapa contoh kasus pembatasan kebebasan seni di Indonesia:
- Pembatalan Pameran Seni: Pameran Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” dibatalkan pada pertengahan Desember 2024.
- Sensor terhadap Konten Politik: Aparat keamanan meminta seniman Butet Kartaredjasa untuk menandatangani pernyataan bahwa karyanya tidak boleh menyinggung masalah politik sebelum menggelar pentas teater di Taman Ismail Marzuki.
- Penghapusan Mural: Penghapusan mural di ruang publik oleh aparat negara dianggap mencederai hak berekspresi dan berkesenian. Contohnya, mural “Jokowi 404: Not Found” di Tangerang yang berujung pada pemeriksaan seniman oleh polisi.
- Swasensor oleh Seniman: Banyak seniman yang akhirnya melakukan swasensor dengan memilah karya untuk ditampilkan karena khawatir akan pembubaran pameran.
Pembatasan terhadap kebebasan berkesenian dapat disebabkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Tap MPRS 1966 tentang larangan menyebarkan paham komunisme, serta Undang-Undang Cipta Kerja. Pembatasan ini mengindikasikan bahwa hukum kadang digunakan sebagai alat untuk mengontrol ideologi, daripada untuk melindungi kebebasan individu atau kelompok dalam mengekspresikan diri.
Dalam konteks pembaruan hukum nasional, beberapa langkah harus diambil untuk memastikan kebebasan seni tetap terlindungi. Pertama, pasal-pasal dalam KUHP yang berpotensi membatasi kebebasan ekspresi harus diuji melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Resmikan Golden Visa
Kedua, diperlukan regulasi khusus yang melindungi kebebasan seni dari kriminalisasi yang sewenang-wenang. Ketiga, pendekatan hukum yang digunakan negara harus berbasis pada harm principle, sebagaimana dikemukakan oleh John Stuart Mill, di mana pembatasan hanya dapat dilakukan jika seni secara langsung membahayakan kepentingan publik, bukan sekadar mengganggu kenyamanan politik penguasa.
Negara yang demokratis seharusnya tidak takut terhadap seni yang mengkritik kekuasaan. Sebaliknya, negara harus memahami bahwa seni merupakan bagian dari marketplace of ideas yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam wacana publik secara sehat. Jika hukum terus digunakan sebagai alat represif terhadap kebebasan seni, maka yang terancam bukan hanya para seniman, tetapi juga legitimasi demokrasi itu sendiri.
Sementara itu, di Eropa, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi juga tercermin dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Pasal 10 dari konvensi ini memberikan perlindungan yang luas terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan menerima informasi, yang meliputi kebebasan dalam berkarya seni. Negara-negara anggota Uni Eropa diwajibkan untuk menjamin kebebasan ini, bahkan jika karya seni tersebut mengandung kritik terhadap negara atau pemerintah.
Indonesia, sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, seharusnya juga menjamin kebebasan seni sebagai bagian dari hak fundamental warganya. Seni bukan hanya sebagai hiburan atau ekspresi pribadi, tetapi juga sebagai alat untuk menantang ketidakadilan, menyuarakan kritik sosial, dan memperkuat demokrasi itu sendiri. Represi terhadap seni hanya akan menggerogoti fondasi demokrasi dan menghambat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan secara aktif dan kritis.
Baca juga: Hukum Islam
Kesimpulan
Represi terhadap kebebasan seni melalui perangkat hukum yang otoritatif menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih berfungsi sebagai alat kontrol politik, bukan sebagai pelindung hak asasi manusia. Penggunaan pasal-pasal dalam KUHP yang membatasi ekspresi seni mencerminkan regresi demokrasi yang harus segera dikoreksi.
Reformasi hukum yang berorientasi pada perlindungan kebebasan berekspresi menjadi krusial untuk memastikan bahwa hukum tidak menjadi instrumen pembungkaman, melainkan pilar utama dalam menjaga demokrasi dan supremasi konstitusi.
artikelnya bagus,bahasa yang dipakai cukup bisa dipahami pembaca awam seperti saya,semangat untuk penulis artikel ini,semoga kedepan bisa membuat artikel lainya yang menarik seperti ini;)
thank you for inspiring lot of people.