Pendahuluan
Dalam sistem peradilan, komposisi hakim memiliki peranan yang sangat krusial dalam menentukan kualitas putusan dan demi menjamin tegaknya keadilan. Secara das sollen, susunan majelis hakim tersebut dirancang untuk menjamin kualitas putusan yang objektif, berkeadilan, dan syarat akan kepastian hukum. Namun, secara praktik di persidangan, sering kali ditemukan bahwa komposisi hakim berjumlah genap dengan alasan bahwa ada anggota hakim yang sedang berhalangan hadir atau sedang perjalanan, sampai-sampai proses persidangan selesai.
Sehingga hal semacam ini tentunya dapat diduga menimbulkan paradoks terhadap pertimbangan hakim, terkhusus yang tidak hadir pada waktu sidang tersebut. Di satu sisi, hal ini mungkin dapat dipandang efektif karena bisa mempercepat proses pengambilan keputusan. Apalagi ketika kita mengambil data perkara yang masuk di pengadilan tersebut jumlahnya banyak, seperti halnya di Pengadilan Agama Lamongan yang pada tahun 2024 sendiri, jumlah perkara yang masuk ialah mencapai total 3058 (tiga ribu lima puluh delapan). Di sisi lain, komposisi hakim berjumlah genap berpotensi menimbulkan kebimbangan (deadlock) yang justru mengancam segi kepastian hukum, terutama jika tidak ada mekanisme legal problem solving atas kebutuhan yang jelas.
Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatakan bahwa pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis hakim sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Makna dari undang-undang tersebut menjelaskan bahwa dalam proses litigasi, baik itu pemeriksaan sampai dengan pengambilan putusan, majelis hakim minimumnya wajib berjumlah tiga orang hakim, kecuali ada peraturan yang menentukan lain, seperti hakim tunggal dsb.
Baca juga: Peran Baru Bareskrim dalam Penanganan Kasus Korupsi Gerobak Kemendag
Fenomena ini akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan yang menarik untuk dibahas dan diulas yakni terkait dengan respon hukum formil ketika terjadi kebuntuan dalam komposisi majelis hakim yang berjumlah genap pada saat proses persidangan dan apakah hal semacam ini dapat ditoleransi dengan mempertimbangkan tingkat keefektifan? Beberapa negara memiliki mekanisme tertentu, seperti di Amerika Serikat suara ketua majelis memiliki posisi yang lebih dominan.
Dalam konteks pembahasan ini, dapat pula melibatkan hakim tambahan bilamana ada anggota Majelis yang berhalangan, maka sidang tetap dapat berlangsung, namun dengan mengantikannya dengan hakim anggota lain dan tidak perlu dibuat PMH baru, serta cukup dicatat di dalam berita acara sidang (Abdul Manan, 2001). Namun, dalam konteks praktiknya hukum di Indonesia, masih terdapat perdebatan mengenai efektivitas dan keadilan sistem yang diterapkan. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut untuk menganalisis dampak dari komposisi hakim yang genap dalam persidangan serta bagaiamana menemukan solusi yang dapat memastikan efektivitas peradilan tanpa mengorbankan kepastian hukum.
Pembahasan
Secara tekstualis hakim dalam proses litigasi harus berjumlah ganjil dan sekurang-kurangnya adalah berjumlah tiga orang hakim, yang hal ini ditegaskan dalam bunyi Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana dijelaskan berikut:
- Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.
- Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
Pada dasarnya hakim sebagaimana yang diatur dalam undang-undang diatas tersebut adalah berjumlah minimum 3 orang hakim, kecuali undang-undnag menentukan lain. Terhadap pengecualian undang-undang tersebut, contohnya adalah jumlah hakim dalam pengadilan anak. Pasal 44 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, hakim memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara anak, baik dari tingkat pertama sampai dengan kasasi yakni harus dengan hakim tunggal.
Selain itu, regulasi tentang perbedaan komposisi hakim lainnya dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menjelaskan bahwa hakim MK berjumlah 9 (sembilan) orang hakim dengan susunan MK terdiri atas ketua dan wakil ketua yang merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
Sedangkan untuk MA yang diatur Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Pasal 40 ayat (1) yang menjelaskan bahwa MA dalam memeriksa dan memutus sekurang-kurangnya adalah dengan 3 (tiga) orang hakim, serta dalam penjelasan pada pasal ini dijelaskan bahwa bilamana MA bersidang dengan daripada tiga orang hakim, maka jumlahnya harus ganjil.
Menurut pendapat Abdul Manan (2001:131) menjelaskan legal problem solving terhadap majelis hakim yang berhalangan hadir sebagaimana berikut:
“Jika Ketua Majelis Hakim tetap misalnya menunaikan ibadah haji, mengikuti Pendidikan dan Latihan, menderita sakit yang penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama, maka Ketua Majelis tersebut dapat diganti dengan yang lain. Pergantian tersebut harus dilaksanakan dengan menerbitkan surat PMH yang baru, dengan menyebutkan dalam pertimbangan kenapa majelis hakim itu diganti. Majelis Hakim yang baru tidak perlu memeriksa ulang pemeriksaan, cukup membacakan resume persidangan, apabila tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang berpekara, maka pemeriksaan terus dilanjutkan. Lalu jika anggota Majelis yang berhalangan, sidang dapat terus dilangsungkan dengan menggantikanya dengan hakim anggota yang lain, tidak perlu dibuat PMH baru, namun cukup dicatat dalam berita acara sidang.”
Namun, dalam Buku II Mahkamah Agung RI yang berjudul “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama” tahun 2011, ada perbedaan terhadap perlu tidaknya dibuat PMH untuk anggota Majelis yang berhalangan, tepatnya dijelaskan dalam bagian Teknis Administrasi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah pada nomor 5 Pelaksanaan Persidangan, ketentuan umum nomor (11) yang berbunyi, “Apabila salah seorang hakim anggota berhalangan, maka dapat diganti oleh hakim lain yang ditunjuk oleh ketua pengadilan agama/mahkamah syar’iyah dengan PMH baru.
Penggantian hakim anggota harus dicatat dalam berita acara persidangan dan buku register perkara.” Oleh karena itu, dengan pertimbangan efektivitas, maka sepakat dengan pendapat Abdul Manan, maka bilamana anggota Majelis yang berhalangan hadir, cukup dengan digantikan oleh anggota hakim yang lain tanpa perlu membuat PMH dan dicatatkan secara jelas dalam berita acara persidangan dan jumlah majelis hakim tetap berjumlah sekurang-kurangnya adalah tiga orang hakim atau berjumlah ganjil.
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Nomor 8 (delapan) dalam hal Berdisiplin Tinggi, terutama yang tertera dalam poin 8.1, dijelaskan bahwa hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.
Selanjutnya, dalam rangka melihat dilema yang terjadi, maka mengutip pendapatnya Awaludin Marwan (2022:44) bahwa tidak ada jalan buntu, mentok, atau deadlock dalam berhukum. Seolah-olah saat terjadi kekosongan hukum, terasa sudah tidak ada peluang lagi, gelap-gulita. Sebab menurut Satcipto Rahardjo, “Kodrat hukum adalah melayani manusia. Mempermudah kehidupan sosial manusia. Mengonstruksi jagat ketertiban. Bukan mengerangkeng dan membikin nestapa.”
Gustav Radburch sosok filsuf Jerman yang hidup pada tahun 1878-1949, berbasis pada aliran hukum kodrat, mengatakan bahwa. “Hukum positif yang berlaku saja tidak secara serta merta bermakna melayani keadilan. Sebab hukum yang tidak adil adalah hukum yang gagal mempersembahkan kemanfaatan pada masyarakat. Dan, ia sebut hukum ini adalah hukum palsu (false law).” Demikian, bahwa hukum sendiri adalah norma-norma atau secara bersamaan dapat dikatakan sebagai alat evaluasi sikap. Yang artinya Tindakan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang atau istilah dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 104 dikenal dengan sebutan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Selanjutnya, menurut Thomas A. Wartowski, agar hukum dapat berjalan dengan efektif, maka suatu harus mempunyai dukungan dari mayoritas rakyat. Yangmana untuk mendapatkan dukungan itu, maka hukum harus dapat dilaksanakan dengan baik, dipahami dengan baik, dan konsisten dengan nilai-nilai komunitasnnya.
Baca juga: Hukum
Kesimpulan
Komposisi jumlah majelis hakim menurut UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Sedangkan apabila ada halangan untuk anggota majelis hakim untuk hadir, maka penyelesaiannya adalah dengan diganti oleh hakim lain dan dicatat dalam berita acara persidangan. Awaludin Marwan, mengatakan bahwa tidak ada jalan buntu, mentok, atau deadlock dalam berhukum. Seolah-olah saat terjadi kekosongan hukum, terasa sudah tidak ada peluang lagi, gelap-gulita. Sebab menurut Satcipto Rahardjo, Kodrat hukum adalah melayani manusia. Mempermudah kehidupan sosial manusia. Mengonstruksi jagat ketertiban. Bukan mengerangkeng dan membikin nestapa.
Dilema antara efektivitas dan kepastian hukum pada komposisi majelis hakim yang berhalangan hadir, solusinya adalah anggota majelis hakim yang berhalangan hadir, cukup dengan digantikan oleh anggota hakim yang lain tanpa perlu membuat PMH dan dicatatkan secara jelas dalam berita acara persidangan dan jumlah majelis hakim tetap berjumlah sekurang-kurangnya adalah tiga orang hakim atau berjumlah ganjil. Namun apabila tidak ada anggota hakim lain yang dapat mengantikan anggota majelis hakim yang tidak hadir, maka solusi kedua adalah mempertanyakan kepada para pihak yang berperkara, apakah keberatan atau tidak dengan ketidakhadiran salah satu anggota majelis hakim.
Apabila tidak keberatan, maka sidang tetap dapat dilanjutkan dengan pertimbangan keefektifan dan asas peradilan cepat, namun tetap mempertimbangkan rasa keadilan bagi para pihak. Sedangkan untuk anggota majelis yang berhalangan tersebut, dapat melihat, membaca dan memeriksa perkara berdasarkan pada resume persidangan dan berita acara yang memuat bukti-bukti kesaksian yang dihadirkan oleh para pihak yang berperkara, selain daripada yang tertulis dalam gugatan, jawaban, replik, dan duplik.
Referensi
Manan, Abdul. 2001. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 2. Jakarta: Yayasan Al-Hikmah.
Marwan, Awaludin. 2022. Teori Hukum Progresif 4.0. Yogyakarta: Thafa Media.
Ali, Achmad. 2013. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cet. 5. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Penulis
Masyekha Ahmad Firmansyah
Mahasiswa, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya