Opini

Legal Opinion oleh Muhammad Jihan dan Farhan Rahmat Syah

177
×

Legal Opinion oleh Muhammad Jihan dan Farhan Rahmat Syah

Sebarkan artikel ini
Bupati Nganjuk

Pendapat Dari Segi Hukum No. 088/NPP-LO/Io/2024/AIRLAW

Tentang:

Permasalahan Hukum Dugaan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Bupati Nganjuk: Atas Nama Tersangka Novi Rahman Hidayat

 30 September 2024 Nirwana, Pramudya & Partners, Aseec Tower Surabaya, 16th Floor Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan, Airlangga, Kec. Gubeng, Surabaya, Jawa Timur 60286

 

Kepada Yth.

Novi Rahman Hidayat, S.Sos., M.M.

Jl. Prabu Singo Barong No. 44, Kelurahan Payaman, Kabupaten Nganjuk 56195

SANS PREJUDICE

Dengan Hormat,

Sehubungan dengan permintaan pendapat hukum (legal opinion) oleh H. Novi Rahman Hidayat, S.Sos., M.M., (selanjutnya disebut sebagai “KLIEN”) yang disampaikan melalui Surat Permohonan No. 078/NRH/IX/2021 kepada kami Nirwana, Pramudya, and Partners pada tanggal 18 Mei 2021 yang terdapat pada Lampiran I (terlampir). Sehingga dengan ini kami, Arif Nirwana, S.H., LL.M., dan Mahendra Pramudya, S.H., M.Hum, akan memberikan jawaban berdasarkan Kasus Posisi yang telah diberikan pada permasalahan in casu.

Identifikasi Fakta Hukum

  1. Bahwa KLIEN saat menyeleksi calon perangkat desa dalam kapasitasnya sebagai Bupati yang menjabat saat itu, tidak melaksankannya sesuai dengan prosedur yang berlaku, KLIEN justru “memerintahkan” para camat untuk mengumpulkan sejumlah uang dari para kepala desa yang mengadakan seleksi perangkat desa dengan jumlah bervariasi antara Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) hingga Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) berdasarkan tingkat jabatan yang akan diisi;
  2. Bahwa sebagian kepala desa menyerahkan uang dengan sukarela, sebagian dengan terpaksa dan sebagian lainnya tidak menyerahkan; dan
  3. Bahwa pada Mei 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (BARESKRIM MABES POLRI) melakukan penangkapan terhadap KLIEN (Lampiran II terlampir) disertai penyitaan barang bukti uang senilai Rp692.900.000 (enam ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) yang diduga berasal dari gratifikasi;

Identifikasi Masalah Hukum

  1. Apakah tindakan KLIEN sebagai Bupati Nganjuk yang memerintahkan pengumpulan uang dari kepala desa dalam proses seleksi perangkat desa termasuk penyalahgunaan wewenang menurut UU Tipikor
  2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap gratifikasi yang diterima KLIEN terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
  3. Apakah tindakan pengumpulan uang dari kepala desa yang dilakukan oleh camat dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana yang melibatkan penyelenggara negara menurut UU 20/2001?

Inventarisasi Aturan Hukum

  1. Undang-Undang 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  4. Undang-Undang 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
  5. Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
  6. Undang-Undang 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan;
  7. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
  8. Peraturan Pemerintah 17 Tahun 2018 Tentang Kecamatan;
  9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 66 Tahun 2017 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Desa;
  10. Peraturan Daerah Kabupaten Nganjuk No. 1 Tahun 2016 Tentang Desa;
  11. Peraturan Bupati Nganjuk No. 11 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa;

Analisis dan Pendapat Hukum

A. Tindakan KLIEN sebagai Bupati yang memerintahkan pengumpulan uang dari kepala desa dalam proses seleksi perangkat desa merupakan penyalahgunaan wewenang menurut Pasal 12 huruf e UU Tipikor.

1. Penyalahgunaan wewenang dalam UU Tipikor serta titik singgungnya dengan Hukum Administrasi Negara;

  • Bahwa dalam UU TIPIKOR belum mengatur perihal interpretasi autentik dari frasa “penyelahgunaan wewenang”, sehingga dalam perkembangannya digunakan interpretasi sistematis logis dengan peraturan   perundang-undangan   terkait,   serta   memanfaatkan rechtschepping dari ratio decidendi putusan hakim.
  • Bahwa syarat mutlak berlakunya delik a quo pelaku haruslah addresat pejabat publik dan/atau penyelenggara negara, yang menurut UU KKN didalamnya juga termasuk Bupati.1 Sehingga dengan demikian Klien sebagai bupati yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.35-5901 Tahun 2018 tentang Pengangkatan Bupati Nganjuk Provinsi Jawa Timur H. NOVI RAHMAN HIDHAYAT, S.Sos., M.M (terlampir dalam Lampiran III) tunduk dan berlaku sebagai addresat penyelenggara negara pada delik penyalahgunaan wewenang.
  • Bahwa menurut Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, mengemukakan jika penyalahgunaan wewenang atau juga disebut menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) merupakan bagian atau inheren dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatighedaad) serta pada beberapa Pasal dalam UU TIPIKOR merupakan unsur inti delik (bestandeel delict).2 Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah melawan hukum secara formil sesuai asas legalitas.3 Maka dengan demikian dalam TIPIKOR, delik penyalahgunaan wewenang merupakan unsur obyektif.4
  • Bahwa pada dasarnya penyalahgunaan wewenang merupakan ranah hukum tata usaha negara,5 namun apabila ditemukan adanya mens rea berupa niat kejahatan, seperti suap, tipuan, dan ancaman maka berlaku hukum materil dan formil pidana.6

2. Penyesuaian antara unsur-unsur penyalahgunaan wewenang terhadap perbuatan KLIEN.

  • Bahwa berdasarkan keseuaian fakta, Klien berpotensi dijerat dengan Pasal 12 B dan/atau Pasal 12 huruf e UU Tipikor, namun hanya Pasal 12 huruf e yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang.
  • Bahwa sejatinya Pasal 12 huruf e, unsur yang disebutkan secara eksplisit adalah “menyalahgunakan kekuasaan”. Namun, berdasarkan doktrin para ahli seperti Wiryono dan Darwan Prints menyamakan konsep Kewenangan dengan Kemudian dalam ratio decidendi Putusan MA No. 603 K/Pid.Sus/2017 (perkara Andri Idris) dan Putusan PN Jakarta Pusat No. 20/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt. Pst (perkara Syahrul Yasin Limpo) juga mempertimbangkan definisi penyelahgunaan kekuasaan sama dengan penyalahgunaan kewenangan.
  • Bahwa unsur-unsur penyalahgunaan wewenang dalam hal ini menurut Prof. Nur Basuki Minarno, sebagaimana dikutip dalam ratio decidendi Putusan MA 2998 K/Pid.Sus/2012 terdapat dua batu uji utama, yakni:
    1. Bertentangan dengan asas legalitas; dan
    2. Bertentangan dengan asas spesialitas
  • Bahwa kemudian, dalam landmark decision7 Mahkamah Agung No. 1119K/Pid.Sus/2011 meletakkan parameter penyalahgunaan wewenang ialah (a) pejabat yang bersangkutan menggunakan wewenang tidak sesuai dengan tujuan undang-undang memberikan wewenang itu kepadanya, dan (b) adanya maksud dan tujuan tertentu yang berbentuk kesengajaan.
  • Bahwa berdasarkan Pasal 49 ayat (2) UU Desa telah mengatur kewenangan Bupati dalam pengangkatan Perangkat Desa, dimana Kepala Desa harus melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada Bupati melalui camat. Kemudian Klien bersama dengan DPRD Nganjuk telah mengesahkan Peraturan Daerah Nganjuk Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Desa, dimana dalam Pasal 62C dan Pasal 62D mengatur mengenai prosedur penjaringan perangkat desa dan pengangkatan serta pemberhentian perangkat desa diatur dalam Peraturan Bupati. Derivasi dari peraturan a quo kemudian diterbitkan oleh Klien melalui Peraturan Bupati Nganjuk Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa, dimana dalam ketentuan peraturan tersebut tidak ada satu pasal pun yang mewajibkan para calon perangkat desa untuk menyerahkan sejumlah uang kepada Bupati, sehingga tindakan Klien yang meminta uang sogokan 7 Landmark Decision adalah putusan penting yang mengandung kaidah hukum Rechtschepping atas adanya inkonsistensi putusan dan/atau rechtvacuum, sehingga harus menjadi pedoman bagi hakim, ini berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 084A/KMA/SK/VII/2012 yang menyebutkan “landmark decision adalah pedoman dan sumber hukum nasional”. kepada setiap Kepala Desa dari para Calon Perangkat Desa bertentangan dengan aturan yang Klien sahkan sendiri sebagai Bupati, serta melanggar Pasal 5 angka 4 UU KKN yang menegaskan:

Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk: tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;

  • Bahwa berdasarkan Pasal 67 Permendagri Nomor 67 tahun 2017 juga mengatur dalam hal terjadi kekosongan jabatan perangkat desa, kepala desa mengirimkan surat perintah atas pelaksana tugas yang baru kepada Bupati melalui camat, dimana aturan a quo dalam implementasinya terdapat celah bagi Bupati untuk menyalahgunakan kewenangannya dengan memungut sejumlah uang sebagai “pengaman posisi”.8

3. Pengumpulan uang yang diperintahkan oleh KLIEN dalam kapasitasnya sebagai Bupati berpotensi dijerat dengan Pasal 12 huruf e UU 20/2001.

  • Bahwa dugaan TIPIKOR oleh Klien apabila telah memasuki tahap P-21,9 berpotensi besar didakwa salah satunya dengan Pasal 12 huruf e UU Tipikor. Namun kabar baik dari Putusan MA No. 6017 K/Pid.Sus- TPK/2022 pada ratio decidendi menegaskan jika “hasil dari pemerasan harus sudah dinikmati oleh si pemeras dan terdapat balasan oleh si pemeras bagi yang tidak memberikan apa yang diminta.10 Apabila disesuaikan dengan fakta diketahui tidak semua perangkat desa memberikan uang “pengaman” terhadap Klien dan tidak ada fakta bahwa Klien melakukan pemecatan ataupun memutasi terhadap mereka yang tidak memberi, sehingga Yurisprudensi a quo menjadi celah pembelaan bagi Klien.

B. Pertanggungjawaban pidana terhadap gratifikasi yang diterima KLIEN terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.

1. Pertanggungjawaban pidana atas gratifikasi;

  • Bahwa pertanggungjawaban pidana adalah penentu dapat tidaknya seseorang dipidana atas kesalahannya. Berikut merupakan parameter pertanggungjawaban pidana:11
    1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat;
    2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu baik disengaja (dolus), ataupun sikap kurang hati-hati (lalai/culpa); dan
    3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.
  • Bahwa Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B UU Tipikor, yang mana, grattifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B ayat (1) bermakna segala jenis pemberian. Perlu diperhatikan setiap gratifikasi adalah suap apabila tidak dilaporkan ke KPK dalam jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh hari) sejak gratifikasi diterima,12 pelaporan pada rechtsidee Pasal 12 B merupakan alasan penghapus pidana, sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban Oleh karenanya apabila penerimaan gratifikasi oleh Klien berdasarkan fakta telah lebih dari 30 (tiga puluh) hari, maka Klien akan dipertanyakan mengapa tidak melaporkan dan justru menyimpan uang gratifikasi tersebut, dengan demikian Klien telah kehilangan kesempatan alasan penghapus pidana.

2. Pertanggungjawaban Klien atas dugaan tindak pidana a quo;

  • Bahwa kriminilasisasi terhadap gratifikasi di Indonesia menurut Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Taufik Rachman, S.H., LL.M., Ph.D., dalam keterangannya sebagai saksi Ahli pada perkara Saiful Ilah,13 menerangkan bahwa Pemidanan dibebankan pada si penerima suap (passive bribery), meskipun dirinya tidak mengetahui apa isi yang diberikan oleh si pemberi dan alasan diberikan gratifikasi, sebab secara ratio legis Pasal 12 B mengandung unsur pro parte dolus dan pro parte culpa, jadi tidak memerlukan adanya kesengajaan penuh berupa kesepakatan (meeting of mind), sehingga jika sudah menerima dan tidak melapor sesuai Pasal 12 B jo Pasal 12 C akan menjadi delik suap;
  • Bahwa berdasarkan Pasal 12 B, Klien telah memenuhi unsur-unsur delik gratifikasi, yakni diantaranya:14
    1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
    2. Menerima gratifikasi;
    3. Berhubung dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban; dan
    4. Tidak dilaporkan ke KPK selama 30 (tiga puluh hari).
  • Bahwa unsur huruf a telah diuraikan pada poin angka (8), unsur huruf b dan huruf d telah diuraikan pada poin angka (18), dan unsur huruf c akan diuraikan sebagai berikut:
    • Berhubungan dengan jabatan: Bahwa Klien menerima gratifikasi dari para camat dan sekretaris camat yang dilakukan mutasi dan promosi oleh Klien, yang mana perbuatan tersebut dapat Klien lakukan berdasarkan atribusi dari Pasal 24 PP No. 19 tahun 2008 tentang Kecamatan jo Pasal 244 UU No. 23 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang memberikan wewenang kepada bupati untuk mengangkat camat.
    • Berlawanan dengan kewajiban: Bahwa Klien selaku bupati nganjuk telah menerbitkan diskresi berupa Peraturan Bupati Nganjuk Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Dan Melayani, dimana dalam peraturan a quo telah mengatur bahwa dilingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk menolak segala jenis gratifikasi. Kemudian, tindakan Klien juga bertentangan dengan Pasal 5 angka 6 UU KKN, yang melarang penyelenggara mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Sehingga dengan demikian, tindakan gratifikasi in casu oleh Klien telah memenuhi unsur-unsur Pasal 12 B dan tidak adanya alasan penghapus pidana sebab telah daluwarsa (vide : Pasal 12 C ayat (3) UU TIPIKOR), sehingga Klien bertanggungjawab secara pidana atas dugaan gratifikasi a quo;

  • Bahwa unsur kunci (bestandeel delict) yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) nantinya ialah “apakah Klien berdasarkan fakta sudah mempergunakan atau memperoleh manfaat dan keuntungan dari objek gratifikasi?”. Hal ini didasarkan pada Landmark Decision MA No. 1169 K/Pid.Sus/2019,15 sehingga jika memang uang gratifikasi masih disimpan oleh Klien dan belum pernah digunakan, maka disini Klien dapat berdalih jika sama sekali tidak memiliki niat jahat (mens rea) untuk melakukan dan/atau menikmati hasil kejahatan, sesuai dengan asas Commodum Ex Injuria Suan Non Habare Debet,16 yang dapat menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan dan/atau memutus bebas Klien dari dakwaan;
  • Bahwa jumlah nominal dugaan gratifikasi yang disita oleh KPK adalah sebesar Rp. 692.000.000 (enam ratus sembilan puluh dua juta rupiah), sehingga dengan demikian berdasarkan Pasal 12 B ayat (1) huruf a jo Pasal 37A jo Pasal 38 A UU Tipikor Klien “berkewajiban” untuk membuktikan di persidangan bahwa uang tersebut bukanlah berasal dari gratifikasi ini disebut pembuktian terbalik (omkering van bewijslast), dan disini Klien harus berusaha meyakinkan hakim bahwa uang tersebut diperoleh secara sah dan bukan berasal dari gratifikasi.

C. Camat yang mengumpulkan uang pada perkara in casu merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut UU 20/2001.

1. Camat bukan Penyelenggara negara;

  • Bahwa pada Pasal 2 angka 5 UU 20/2001 menyebutkan yang termasuk addresat Penyelenggara Negara adalah sebagaimana yang dimaksud dalam UU Namun, didalam UU KKN tidak menyebutkan secara expressive verbis bahwa Camat merupakan merupakan penyelenggara negara, kemudian juga tidak ada yurisprudensi pada kasus Tipikor yang menempatkan Camat sebagai penyelenggara negara, namun justru sebagai “pegawai negeri sipil (PNS)”. Perhatikan kasus-kasus berikut:
    1. Dupriono, merupakan Camat Pace, Kabupaten Nganjuk;17
    2. Haryanto, merupakan Camat Berbek, Kabupaten Nganjuk;18
    3. Bambang Subagio, merupakan Camat Loceret, Kabupaten Nganjuk.19

Dimana para terpidana dalam kasus di atas merupakan para camat yang melakukan perbuatan Tipikor bersama dengan NOVI RAHMAN HIDAYAT, oleh JPU telah didakwa dalam kedudukan mereka sebagai PNS dan terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor.

  • Bahwa camat merupakan pegawai negei sipil bedasarkan Pasal 244 ayat (2) UU 23/2014, yang menyebutkan: “Bupat wajib mengangkat camat dari pegawai negeri sipilSehingga dengan demikian camat tunduk pada UU 5/2014 dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang melarang para PNS untuk melakukan tindakan KKN. Bahwa meski bukan penyelenggara negara, dalam UU Tipikor delik penyelenggara negara merupakan unsur alternatif dari Pegawai Negeri, sehingga dapat disimpulkan berdasarkan UU 20/2001 Camat bukanlah penyelenggara negara, melainkan pegawai negeri yang merupakan unsur alternatif sehingga juga berlaku dan tunduk pada UU 20/2001.

Kesimpulan

  • Bahwa perbuatan Klien yang meminta sejumlah uang terhadap calon perangkat desa apabila dilakukan persesuaian telah memenuhi unsur-unsur penyalahgunaan wewenang dalam UU Tipikor, dan berpotensi besar disangkakan dan apabila berlanjut dapat didakwakan dengan Pasal 12 huruf e UU Namun dilain sisi, terdapat beban yang harus dibuktikan oleh JPU, yaitu apakah hasil pemerasan sudah digunakan oleh Klien, apakah terdapat hukuman bagi calon perangkat desa yang tidak memberi sejumlah uang sehingga dimutasi atau diberhentikan, yang mana fakta tersebut tidak ditemukan sehingga Klien memiliki celah pembelaan atas Pasal a quo;
  • Bahwa gratifikasi yang diterima Klien dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab Klien merupakan penyelenggara negara dan tidak melaporkan ke KPK dalam waktu 30 (tiga puluh hari), serta adanya asas Pro parte dolus; Pro parte culpa yang bilamana Klien menyanggahi bahwa tidak tahu maksud dari gratifikasi, namun ketika Klien menerima sudah dianggap sebagai delik gratifikasi, hal ini karena dalam Pasal 12 B tidak perlu unsur meeting of mind. Namun disisi lain, terdapat celah pembelaan oleh Klien dimana harus bisa membuktikan secara terbalik bahwa dana tersebut bukan berasal dari gratifikasi dan tidak pernah menikmati hasil dari dugaan gratifikasi in casu;
  • Bahwa berdasarkan UU 21/2000 yang disesuaikan dengan UU KKN maka camat yang terlibat dalam pengumupulan uang pemerasan dari kepala desa bukanlah penyelenggara negara, addresat yang tepat ialah Pegawai Negeri, sehingga tetap berlaku dan tunduk pada UU 21/2000 sebab Pegawai Negeri merupakan unsur alternatif dari penyelenggara negara;
  • Bahwa setiap penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh APH, tersangka berhak untuk mengajukan gugatan Pra-Peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,20 hal ini guna melindungi dan memastikan bahwa adanya perlindungan dan penjaminan hak-hak tersangka, sebab meski Tipikor melekat asas presumption of guilty tapi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945, seseorang hanya dinyatakan bersalah setelah adanya putusan hakim yang inkracht. Maka dengan ini kami menyarankan Klien untuk menggunakan hak tersebut;
  • Bahwa demi terjaganya hak-hak tersangka, perlindungan hukum dari adanya perbuatan sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pendampingan pra-peradilan hingga proses selanjutnya, Kami menyarankan Klien untuk didampingi oleh kuasa hukum yang profesional.
  • Bahwa Tipikor merupakan pidana asal (predicate crime) dari pada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dalam banyak kasus JPU kerap mendakwakan dua delik tersebut sebagai concursus realis yang dapat menambah jerat dan sanksi pidana, oleh karena itu sangat disarankan agar saat ini Klien beserta keluarga membatasi penggunaan transaksi melalui Penyedia Jasa Keuangan agar tidak dapat diendus oleh PATK.21

Hormat Kami,

 

Arif Nirwana, S.H., LL.M.,         Mahendra Pramudya, S.H., M.Hum,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *