Opini

Legal Opinion oleh Dheza Azra Mahendra dan Najmi Ulya Pratiwi

184
×

Legal Opinion oleh Dheza Azra Mahendra dan Najmi Ulya Pratiwi

Sebarkan artikel ini
Contoh Legal Opinion

Dari Najmi & Mahendra Counsellors at Law

Kuasa Hukum

Kepada Forum Kepala Desa Kabupaten Nganjuk

Jalan Raya Krajan No. 32A, Bagor, Nganjuk, Jawa Timur

 

No.: NM/NU-DA/KADES/VI/2021

Perihal: Pendapat Hukum (Legal Opinion)

Yth. Forum Kepala Desa Kabupaten Nganjuk

Up: Bapak Mulyono Raharjo

Jalan Raya Krajan No. 32A, Bagor, Nganjuk, Jawa Timur

Dengan hormat,

Dengan ini kami sampaikan Pendapat Hukum kami sehubungan dengan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Bupati Nganjuk periode 2018-2023 yang memerintahkan pengumpulan uang dari para kepala desa yang wilayahnya akan mengadakan seleksi perangkat desa, dalam hal ini diwakili oleh Forum Kepala Desa Kabupaten Nganjuk (“Klien”) dan dugaan gratifikasi yang diperoleh melalui promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Kabupaten Nganjuk, yang mana telah kami susun sebagai berikut:

Identifikasi Fakta Hukum

  • Bahwa Novi Rahman Hidayat dalam jabatannya sebagai Bupati Nganjuk periode 2018-2023 (“Bupati Nganjuk”) menerima beberapa pemberian dari para pegawai di lingkungan pemerintah Kabupaten Nganjuk yang diterima melalui ajudannya, Izza Muhtadin (“Izza”);
  • Bahwa tindakan ini bermula pada saat akan dilakukan proses seleksi pengisian posisi perangkat desa di lingkungan pemerintah Kabupaten Nganjuk tahun 2021. Kekosongan posisi tersebut sebanyak 284 posisi perangkat desadi 116 desa yang tersebar di 11 kecamatan;
  • Bahwa kekosongan posisi tersebut merupakan posisi strategis meliputi jabatan Sekretaris Desa, Kepala Seksi, dan Kepala Dusun;
  • Bahwa menindaklanjuti  kegiatan  tersebut,  Bupati  Nganjuk memerintahkan para camat untukmengumpulkan uang dari kepala desa yang di wilayahnya akan diselenggarakan seleksi perangkat desa guna “mengamankan” dan melancarkan proses seleksi;
  • Bahwa Bupati Nganjuk memerintahkan Izza melaksanakan instruksi dengan menginstruksikan para camat untuk menyampaikan kepada kepala desa agar mengumpulkan uang yang telah ditentukan;
  • Bahwa beberapa Kepala Desa dengan terpaksa mengumpulkan uang yang diminta dan menyerahkannya kepada camat. Kemudian, camat menyerahkan kepada Izza selaku koordinator;
  • Bahwa pada tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) denganBareskrim Mabes Polri (“Bareskrim”) melakukan penyadapan dan penyelidikan yangmengungkap skema tersebut serta ditemukan pula adanya dugaan gratifikasi sebesar Rp692.900.000 (enam ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus rupiah) yang diterima oleh Bupati Nganjuk dari hasil penempatan para Pegawai melalui promosi dan mutasi jabatan di lingkungan pemerintah Kabupaten Nganjuk.

Identifikasi Masalah Hukum

  1. Apakah tindakan Novi Rahman Hidayat sebagai Bupati Nganjuk yang memerintahkan pengumpulan uang dari kepala desa dalam proses seleksi perangkat desa termasuk penyalahgunaan wewenang menurut undang-undang tindak pidana korupsi?
  2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap gratifikasi yang diterima Novi Rahman Hidayat terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk?
  3. Apakah tindakan pengumpulan uang dari kepala desa yang dilakukan oleh camat dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana yang melibatkan penyelenggara negara menurut Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Inventarisasi Aturan Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU KKN”);
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”);
  4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”);
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Daerah (“UU PD”);
  6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU AP”);
  7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP 43/2014”);
  9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa (“Permendagri 83/2015).

Analisi dan Pendapat Hukum

  • Bahwa pengaturan tentang penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi terdapat dalam perumusan Pasal 3 UU Tipikor. Menurut Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., pengertian penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas.1 Kemudian, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/PID/1992 tanggal 17 Februari 1992 menjawab ketidakesplisitasan tersebut dengan menggunakan doktrin otonomi hukum pidana materiil untuk mengartikan penyalahgunaan wewenang menggunakan pengertian yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya, sehingga Mahkamah Agung mengambil alih pengertian penyalahgunaan wewenang yang ada pada Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;2
  • Bahwa dalam kaitannya dengan proses seleksi perangkat desa, kepala desa melakukan penjaringan dan penyaringan bakal calon. Kemudian, camat akan memberikan rekomendasi berupa persetujuan atau penolakan terhadap bakal calon perangkat desa. Dalam hal camat memberikan rekomendasi berupa persetujuan, maka kepala desa menerbitkan keputusan kepala desa tentang pengangkatan perangkat Akan tetapi, apabila camat memberikan rekomendasi penolakan, maka kepala desa melakukan penjaringan dan penyaringan ulang calon perangkat desa sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 66 PP 43/2014 dan Pasal 4 huruf f, g dan h Permendagri 83/2015. Dengan demikian, proses seleksi perangkat desa sepenuhnya merupakan kewenangan camat, sehingga Novi Rahman Hidayat dalam kedudukannya sebagai Bupati Nganjuk tidak memiliki kewenangan dalam proses seleksi perangkat desa;
  • Bahwa tindakan bupati sebagaimana dimaksud terkualifikasi sebagai larangan penyalahgunaan wewenang, yakni bertindak sewenang-wenang karena tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3) huruf a UU AP;
  • Bahwa perbuatan Bupati Nganjuk diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 e UU Tipikor. Eddy Omar Syarief menjelaskan bahwa dalam gratifikasi tidak terdapat meeting of minds atau kesepakatan sebelumnya antara pemberi dan penerima. Akan tetapi, patut diduga pemberian itu diberikan untuk menimbulkan timbal balik yang berkaitan dengan kewajiban penerima sebagai penyelenggara negara.3 Dengan begitu, pemberian yang diterima Bupati Nganjuk dari para pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten Nganjuk yang satu bulan setelahnya para pegawai tersebut diangkat dalam posisi strategis dapat diduga sebagai gratifikasi karena bertentangan dengan kewajibannya yang merupakan penyelenggara negara untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan Pasal 5 angka 6 UU KKN jo. Pasal 76 ayat (1) huruf a dan e UU PD dan tidak menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik.
  • Bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan gratifikasi yang dilakukan Bupati Nganjuk memenuhi rumusan unsur padaPasal 5 ayat (1) jo. Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU Tipikor dengan ancaman pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
  • Bahwa mengingat pemberian yang diterima oleh Bupati Nganjuk nilainya lebih besar dari Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), dilakukan dalam jabatan dan bertentangan dengan kewajibannya, maka mengacu pada Pasal 12 B ayat (1) huruf a UU Tipikor, pemberian tersebut dianggap suap dan pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh Bupati Nganjuk sebagai penerima;
  • Bahwa terkait perbuatan Bupati Nganjuk tersebut di atas, secara terang dan jelas dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena tidak adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar. Perbuatan tersebut tidak dilakukan dalam keadaan jiwa yang terganggu, tidak adanya daya paksa dan pembelaan terpaksa serta tidak dalam melaksanakan perintah jabatan ataupun undang-undang.
  • Bahwa mengacu pada Pasal 1 angka 1 UU KKN, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Lebih lanjut, dijelaskan dalam Pasal 225 ayat (1) huruf a UU PD bahwa salah satu tugas camat adalah berkaitan dengan urusan pemerintahan umum. Hal mana urusan pemerintahan umum merupakan bagian dari urusan pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggara negara. Oleh karenanya, camat merupakan penyelenggara negara;
  • Bahwa tindakan pengumpulan uang oleh camat dari Kepala Desa didasari dengan adanya perintah dari Bupati Nganjuk melalui Izza. Terhadap perbuatan dan perintah tersebut, Bupati Nganjuk telah diduga melakukan perbuatan tindak pidana Oleh karenanya, tindakan camat sebagaimana dimaksud yang dilakukan atas perintah Bupati Nganjuk termasuk sebagai tindakan turut serta melakukan karena camat tidak hanya sekadar memberi bantuan untuk mempermudah kejahatan, melainkan mengarah langsung pada pelaksanaan unsur delik, sehingga memenuhi rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP;
  • Bahwa sejatinya Bupati Nganjuk memang memiliki kewenangan untuk memberikan perintah kepada camat dalam hal-hal yang diatur dalam UU PD. Namun, memberikan perintah untuk mengumpulkan uang dari Kepala Desa bukan merupakan kewenangan Bupati Nganjuk dalam jabatannya dan melakukan pengumpulan uang dari Kepala Desa juga bukan merupakan kewenangan dan tugas camat, sehingga camat tidak dapat berlindung dibalik alasan pembenar karena tidak memenuhi rumusan unsur pada Pasal 51 ayat (1) KUHP dan diancam dengan pidana yang sama layaknya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada Camat, yaitu Pasal 5 Ayat (1) Jis. Pasal 5 Ayat (2) UU Tipikor, Pasal 55 KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 55 KUHP.

Kesimpulan

Kesimpulan

  • Bahwa perbuatan Bupati Nganjuk yang memerintahkan untuk melakukan pengumpulan uang oleh Kepala Desa dalam proses seleksi perangkat desa merupakan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi karena termasuk sebagai larangan penyalahgunaan wewenang, tepatnya bertindak sewenang-wenang, sebab tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3) huruf a UU AP;
  • Bahwa pemberian yang diterima oleh Bupati Nganjuk patut diduga sebagai tindakan gratifikasi karena penerimaan tersebut bertentangan dengan kewajiban penerima sebagai Bupati, sehingga perbuatan tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban piana sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU Tipikor;
  • Bahwa kedudukan camat sebagai penyelenggara negara yang melakukan pengumpulan uang dari Kepala Desa dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang melibatkan penyelenggara negara karena camat bertindak sebagai turut serta melakukan dalam perbuatan tersebut, sehingga terhadapnya diancam hukuman pidana yang sama selayaknya pelaku

Rekomendasi

  • Bahwa meskipun perkara a quo telah ditangani oleh KPK dan Bareskrim Mabes Polri, tetapi kami sangat merekomendasikan kepada Klien untuk tetap mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum, khususnya pada proses pemeriksaan Klien sebagai saksi, mengingat posisi Klien sangat rentan untuk dipersalahkan dalam tindakan turut serta melakukan;
  • Bahwa kami sangat merekomendasikan kepada Klien untuk menyimpan bukti-bukti percakapan dengan pihak yang terlibat dalam perkara a quo dan bukti lain yang menguatkan posisi Klien agar dapat diserahkan kepada pihak yang berwenang.

Penutup

Demikian Pendapat Hukum ini kami susun terbatas pada pandangan teoritis/normatif kami dengan menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan dokumen dan keterangan dari Klien. Pendapat Hukum ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan tuntutan Pidana maupun Perdata kepada kami selaku pihak penerbit maupun kepada pihak lainnya.

Hormat Kami,

Najmi Mahendra Counsellors at Law

 

Azrasyafa Mahendra, S.H., LL.M.       Jema Najmi Pratiwi, S.H., LL.M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *