Pendapat Hukum Mengenai Dugaan Penyalahgunaan Wewenang, Gratifikasi, dan Keterlibatan Penyelenggara Negara dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk
Nomor: 98/AP-VII/LO/2021
Lampiran: 1 (satu) Eksemplar
Kepada Yth.
Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Inspektorat Daerah Kabupaten Nganjuk
Jalan Ki Hajar Dewantara, Nomor 10, RT 03/RW 01 Kecamatan Nganjuk Selatan, Kabupaten Nganjuk
Perihal: Pendapat Hukum Mengenai Dugaan Penyalahgunaan Wewenang, Gratifikasi, Dan Keterlibatan Penyelenggara Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk.
Pada tanggal 8 Juli 2021, Inspektorat Daerah Kabupaten Nganjuk (“Klien”) melalui perwakilannya mendatangi Law Office Argono & Partners (“Kami”) dan menguraikan permasalahan hukum yang dihadapinya. Berdasarkan pertemuan tersebut, Kami dan Klien telah menandatangani Offering Letter [Lampiran I] yang pada pokoknya, Kami akan menyusun dan memberikan pendapat hukum kepada Klien untuk menjawab 3 (tiga) rumusan masalah hukum Klien.
Identifikasi Fakta Hukum
Berikut adalah ringkasan fakta hukum yang disampaikan oleh Klien:
- Bahwa Novi Rahman Hidayat (“NRH”) merupakan Bupati Nganjuk Periode 2018-2023;
- Bahwa pada tahun 2021 NRH diduga telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Bupati Nganjuk terkait seleksi pengisian 184 perangkat desa di 116 desa dan 11 kecamatan di Kabupaten Nganjuk;
- Bahwa penyalahgunaan wewenang tersebut dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah uang dari kepala desa melalui camat yang wilayahnya akan mengadakan seleksi perangkat desa;
- Bahwa jumlah uang yang diminta berkisar dari Rp10.000.000 sampai Rp30.000.000, tergantung pada posisi perangkat desa yang akan diisi seperti jabatan sekretaris desa, kepala dusun, dan kepala seksi;
- Bahwa terhadap praktik pengumpulan uang tersebut, beberapa kepala desa menyatakan keberatan dan merasa terpaksa tetapi akhirnya tetap menyerahkan uang yang diminta;
- Bahwa pada tanggal 20 Mei 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) bersama Bareskrim Mabes Polri melakukan penyadapan dan penyelidikan untuk mengungkap dugaan tindak pidana tersebut;
- Bahwa setelah dilakukan penyadapan dan penyelidikan, KPK dan Bareskrim Mabes Polri melakukan penangkapan terhadap NRH serta sejumlah pejabat lain yang terlibat;
- Bahwa berdasarkan hasil penyidikan dan penyelidikan tersebut, ditemukan juga bahwa NRH diduga menerima gratifikasi sebesar Rp692.900.000 yang diperoleh melalui promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Gratifikasi tersebut diduga diberikan oleh para pegawai yang akan diangkat dalam posisi strategis seperti camat dan kepala seksi di berbagai kecamatan dengan proses yang tidak sesuai aturan dan didasarkan pada kepentingan pribadi.
Identifikasi Masalah Hukum
Pertanyaan yang akan dijawab dalam pendapat hukum berdasarkan duduk perkara di atas adalah sebagai berikut:
- Apakah tindakan NRH sebagai Bupati Nganjuk yang memerintahkan pengumpulan uang dari kepala desa dalam proses seleksi perangkat desa termasuk penyalahgunaan wewenang menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
- Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap gratifikasi yang diterima NRH terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk?
- Apakah tindakan pengumpulan uang dari kepala desa yang dilakukan oleh camat dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana yang melibatkan penyelenggara negara menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Inventarisasi Aturan Hukum
Undang-Undang
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“UU Penyelenggara Negara”);
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”);
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”);
- Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”);
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemerintahan Daerah”).
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”);
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”).
Analisis dan Pendapat Hukum
Pendapat Hukum ini disusun berdasarkan asumsi dan kualifikasi sebagaimana terlampir dalam [Lampiran II]
Tindakan Penyalahgunaan Wewenang oleh NRH sebagai Bupati Nganjuk Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Bahwa perbuatan penyalahgunaan wewenang diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor, tetapi terhadap tindakan NRH, penggunaan Pasal 3 UU Tipikor kurang tepat karena tidak terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara” berikut ini:
- Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara dan Pasal 1 angka 7 UU BPK, definisi keuangan negara merupakan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;
- Sementara itu, pengertian kerugian keuangan negara atau kerugian negara diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK, bahwa kerugian negara atau daerah merupakan kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Mengacu pada definisi kerugian keuangan negara di atas, maka perbuatan NRH tidak memenuhi unsur merugikan keuangan negara karena tidak adanya kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya. Artinya, NRH tidak melakukan tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara melainkan tindakan berupa meminta untuk mengumpulkan sejumlah uang dari kepala desa.
Maka dari itu, pengenaan pasal yang tepat terhadap tindakan NRH selaku Bupati Nganjuk yang memerintahkan pengumpulan uang dari kepala desa melalui camat dalam proses seleksi perangkat desa adalah Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, unsur penyalahgunaan kekuasaan yang telah dilakukan oleh NRH meliputi:
a. Unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf c UU Tipikor, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara juga meliputi orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Selain itu, berdasarkan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 angka 7 UU Penyelenggara Negara, NRH selaku Bupati Nganjuk dikategorikan sebagai pejabat lain yang memiliki fungsi strategis. Maka dari itu, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara telah terpenuhi.
b. Unsur menguntungkan diri sendiri
Bahwa perbuatan NRH yang menyalahgunakan kekuasaan dengan mengharapkan adanya pamrih atau imbalan dari kepala desa melalui para camat pada proses pengisian perangkat desa merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri.
c. Unsur secara melawan hukum
Bahwa konsep melawan hukum terdiri dari dua yaitu melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Secara konsep hukum formil, tindakan NRH yang menyalahgunakan kekuasaan dan menguntungkan diri sendiri merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang tidak sesuai dengan hukum maupun peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 12 huruf e UU Tipikor. Sementara, dari konsep hukum materiil perbuatan tersebut juga merupakan perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan yang berlaku di masyarakat. Maka dari, itu tindakan NRH telah memenuhi unsur secara melawan hukum.
d. Unsur dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
Bahwa unsur memaksa pada perbuatan NRH meliputi memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu yaitu memaksa para kepala desa, melalui camat, untuk memberikan sejumlah uang tertentu kepada NRH. Maka unsur paksaan oleh NRH yang menyalahgunakan kekuasaanya kepada kepala desa untuk memberikan sesuatu telah terpenuhi.
Berdasarkan pemenuhan unsur-unsur pasal di atas, maka perbuatan NRH bukan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang melainkan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Gratifikasi yang Diterima NRH terkait Promosi dan Mutasi Jabatan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk
Terhadap pertanggungjawaban pidana NRH atas gratifikasi terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan pemerintah Kabupaten Nganjuk dapat diuraikan melalui analisis berikut:
- Bahwa perbuatan gratifikasi diatur di dalam Pasal 12 B UU Tipikor di mana gratifikasi dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;
- Bahwa berdasarkan Pasal 235 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah, kepala daerah dapat dan/atau melantik kepala perangkat daerah;
- Bahwa selanjutnya terkait penerimaan gratifikasi atas promosi dan mutasi jabatan tersebut dapat diuraikan pemenuhan pasal 12B UU Tipikor sebagai berikut;
I. Gratifikasi: Bahwa yang dimaksud gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yang dapat meliputi uang sehingga total nominal Rp692.900.000 yang diterima NRH dapat termasuk sebagai gratifikasi.
II. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara: Bahwa jabatan NRH sebagai Bupati merupakan penyelenggara negara sebagaimana Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 angka 7 UU Penyelenggara Negara sehingga unsur kepada penyelenggara negara telah terpenuhi.
III. Berhubungan dengan jabatannya: Bahwa pemberian uang kepada NRH setelah para pegawai diangkat dalam posisi strategis dapat dikategorikan sebagai berhubungan dengan jabatannya mengingat bupati sebagai kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memindahkan perangkat daerah sebagaimana Pasal 29 UU ASN.
IV. Berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya: Bahwa berdasarkan Pasal 233 jo. 234 UU Pemerintahan Daerah, pengisian kepala Perangkat Daerah harus memenuhi persyaratan kompetensi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga tindakan NRH yang mengangkat perangkat daerah berdasarkan kepentingan pribadi tidak sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan analisis di atas, maka perbuatan NRH telah memenuhi tindak pidana gratifikasi sebagaimana Pasal 12B UU Tipikor.
Tindakan Pengumpulan Uang dari Kepala Desa sebagai Perbuatan Pidana yang Melibatkan Penyelenggara Negara Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tindakan pengumpulan uang yang dilakukan oleh camat kepada kepala desa tidak dapat dianggap sebagai perbuatan pidana yang melibatkan penyelenggara negara, melainkan merupakan tindak pidana yang melibatkan pegawai negeri sipil menurut UU Tipikor. Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan Pasal 2 UU Penyelenggara Negara, camat dan kepala desa bukan merupakan penyelenggara negara;
- Bahwa berdasarkan Pasal 224 UU Pemerintahan Daerah, Camat adalah pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan diangkat oleh Bupati/Wali kota;
- Bahwa berdasarkan 1 angka 3 UU Desa, Kepala Desa merupakan pemerintah desa yang menjadi unsur penyelenggara pemerintahan desa;
- Bahwa perbuatan pengumpulan uang dalam rangka pengisian posisi jabatan untuk seleksi perangkat desa dapat dikenakan Pasal 12 huruf e UU Tipikor;
- Bahwa perbuatan camat dalam melakukan pengumpulan uang atas dasar perintah dari NRH dapat dikenakan perbuatan pembantuan dalam melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 15 UU Tipikor Pasal 56 KUHP, ataupun turut serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo. Pasal 55 KUHP;
- Perbuatan camat yang mengumpulkan uang dari kepala desa untuk diberikan kepada bupati dapat dikualifikasikan sebagai pembantuan jika camat hanya memfasilitasi pengumpulan, menyampaikan instruksi, dan menyerahkan uang, namun jika camat ikut menikmati bagian dari uang tersebut, perbuatannya dapat memenuhi unsur turut serta dalam tindak pidana korupsi;
- Bahwa berdasarkan teori objektif dalam membedakan turut serta dan membantu, perbuatan turut serta terjadi dalam hal perbuatan merupakan unsur delik. Sementara pembantuan terjadi dalam hal tujuan perbuatan tersebut hanya memberi kesempatan supaya delik terjadi, serta hanya memberi bantuan kepada pelaksanaan delik yang dilakukan oleh orang lain;1
Dikarenakan status camat adalah sebagai pegawai negeri, maka perbuatan yang dilakukan camat adalah tindak pidana yang melibatkan pegawai negeri sipil sebagaimana Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis hukum di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam Pendapat Hukum ini adalah sebagai berikut:
- Tindakan NRH selaku Bupati Nganjuk yang memerintahkan pengumpulan uang dari kepala desa melalui camat dalam proses seleksi perangkat desa tidak termasuk tindakan penyalahgunaan sebagaimana Pasal 3 UU Tipikor wewenang melainkan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana Pasal 12 huruf e UU Tipikor;
- Perbuatan NRH dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas gratifikasi yang diterima terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk, sesuai Pasal 12B UU Tipikor;
- Tindakan pengumpulan uang oleh camat atas perintah bupati terkait pengisian jabatan perangkat desa termasuk tindak pidana korupsi meskipun camat bukan penyelenggara negara, melainkan pegawai negeri sipil sesuai Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis di atas, maka tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Klien dalam perkara ini adalah sebagai berikut:
- Kami menyarankan Klien untuk kooperatif dalam berkoordinasi dengan KPK dan Bareskrim Polri dalam hal memberikan data, dokumen, atau bukti-bukti pendukung terkait penyidikan dan penuntutan perkara ini;
- Kami menyarankan Klien untuk melakukan investigasi internal guna menilai apakah terdapat pelanggaran administrasi terkait proses seleksi perangkat desa dan promosi jabatan di Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Jika ditemukan pelanggaran, Klien dapat memberikan rekomendasi sanksi administratif kepada pihak-pihak yang terlibat.
Demikian pendapat hukum ini Kami buat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya, Kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Dr. Mochtar Ambo Masse, S.H., LL.M.
Managing Partner Argono & Partners