Kawin Kontrak dalam Islam
Kata mut’ah menurut bahasa berasal dari ةعتمو – اعتم –عتمي –عتم yang artinya kesenangan atau kenikmatan. Pernikahan mut’ah terjadi jika perempuan dinikahi oleh laki-laki dengan adanya jangka waktu perkawinan baik dalam 1 hari, 1 bulan hingga tahunan.
Pernikahan kontrak merupakan sebuah pernikahan yang melibatkan beberapa proses yang mencakup:
- Sighat (ucapan) akadnya menggunakan lafadz matta’tuka, unkihuka atau zawwajtuka, (aku nikahkan kamu sementara).
- Tidak ada kehadiran wali.
- Tidak ada persyaratan saksi.
- Akadnya diucapkan jangka pernikahannya. Jangka tersebut sesuai dengan persetujuan mempelai laki-laki dan perempuan.
- Dalam akad juga harus diucapkan jumlah mahar.
- Anak dari pernikahan ini dianggap anak luar nikah di mana tidak memiliki hak yang sama seperti anak sah.
- Suami dan istri tidak memiliki hak waris atau mewarisi.
- Pernikahan terputus secara otomatis sesuai kesepakatan awal, tanpa perlu talak atau khulu’.
- Masa ‘iddahnya adalah 2 kali haid untuk perempuan yang masih haid, sedangkan 45 hari untuk perempuan yang sudah berhenti haid.
- Tidak terdapat kewajiban memberikan nafkah ‘iddah.
Pada zaman Nabi Muhammad, nikah mut’ah pernah dipraktikkan. Rasulullah mengizinkan tentaranya melakukan nikah mut’ah, sebab terpisah jauh dengan istrinya guna menghindari terjadinya penyimpangan. Namun, saat melaksanakan pembebasan Makkah tahun 8 H/630M, Nabi Muhammad mengharamkan pernikahan kontrak.
Baca juga: Hukum Perceraian dalam Islam
Ali bin Abi Thalib dalam riwayatnya, “Pada masa perang khaibar Rasulullah melarang umatnya untuk melakukan nikah mut’ah dan makan daging keledai.” Selanjutnya, Umar bin Khattab r.a saat menjadi khalifah menetapkan larangan pernikahan mut’ah. Hal tersebut juga dilakukan para sahabat di mana mereka menyatakan pernikahan kontrak dilarang. Tidak mungkin mereka memutuskan sesuatu dengan tidak benar apabila larangannya tersebut adalah sebuah kesalahan.
Para ulama juga berpendapat haram hukumnya melakukan pernikahan mut’ah. Apabila pernikahan kontrak dilakukan maka dengan tegas dianggap tidak sah. Tidak sahnya pernikahan kontrak dilandasi oleh hukum-hukum di Al-Qur’an dari hukum tentang perkawinan, iddah, waris hingga talak.
Kawin Kontrak Menurut MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan dengan tegas bahwa pernikahan kontrak hukumnya haram. Pernyataan tersebut selaras terhadap fatwa MUI No. Kep-B-679/MUI/IX/1997. Pernikahan kontrak dalam fatwa ini ditetapkan haram hukumnya. Oleh sebab itu, jika terdapat bukti yang kuat, maka mereka yang melakukan pernikahan mut’ah dapat diadili dan dilaporkan serta dihukum.
Fatwa mengenai pernikahan mut’ah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia dengan berpedoman atas dalil-dalil dari jumhur ulama mengenai haramnya nikah mut’ah, yakni:
- Dalam Surah Al-Mukminun ayat 5-6 Allah berfirman: “Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau budak perempuan mereka. Sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.” Penjelasan ayat ini ialah hubungan suami-istri diperbolehkan terhadap perempuan yang menjadi istri sah atau budak perempuan. Di sisi lain, perempuan yang dinikahi secara kontrak tidak dianggap berperan sebagai istri sah maupun budak perempuan. Adapun yang menyebabkannya tidak dianggap demikian sebab akad mut’ah berbeda dengan akad nikah, alasannya sebagai berikut:
-
- Tidak adanya waris atau mewarisi. Berbeda dengan ijab kabul nikah sah yang menjadi sebab mendapatkan warisan.
- ‘Iddah dari pernikahan mut’ah berbeda dengan ‘iddah pada pernikahan yang sah.
- Dengan ijab kabul nikah yang sah, hak seseorang untuk memiliki empat istri menjadi terbatas. Namun, hal ini tidak berlaku dalam pernikahan mut’ah.
- Menjalankan pernikahan mut’ah membuat seseorang tidak dianggap sebagai muhsan, sebab perempuan yang dinikahi secara kontrak tidak disebut sebagai istri. Pernikahan mut’ah tidak membuat perempuan menjadi istri atau budak. Sehingga, orang yang menikah mut’ah disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Mukminun ayat 7 yakni: “Barang siapa mencari selain daripada itu, maka mereka itulah orang melampaui batas.”
- Tujuan dari pernikahan mut’ah bertolak belakang terhadap prinsip-prinsip syariat dalam pernikahan, yang bertujuan untuk membangun keluarga yang harmonis dan menghasilkan keturunan.
- Pernikahan kontrak bertentangan dengan peraturan dan undang-undang di Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan.
Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang
Pernikahan dalam Undang-Undang Perkawinan (Pasal 1) yakni, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kewajiban suami dan istri tidak hanya berpedoman terhadap agamanya, namun juga wajib melakukan pencatatan pernikahannya berdasarkan peraturan undang-undang apabila perkawinannya diharapkan sah oleh negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan perkawinan pada Pasal 2 KHI, bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah,” jika Pasal 3 KHI dihubungkan dengan ketentuan tersebut, maka perkawinan tidak hanya akad yang sangat kuat, tetapi juga dijalankan dengan waktu yang panjang. Seperti yang diketahui bahwa dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah diperlukan jangka yang lama tanpa adanya batasan waktu.
Pernikahan pada dasarnya merupakan sebuah perjanjian atau perikatan juga tercantum dalam hukum perdata. Perjanjian merupakan hal yang penting dalam hukum, di mana setiap orang yang melakukan perjanjian dari awal berharap agar perjanjian itu tidak putus di tengah jalan. Sama halnya dengan pernikahan yang diharapkan tidak dengan mudah diputus dan seumur hidup.
Pasal 1320 KUHPerdata (KUHPer) menjelaskan mengenai syarat sahnya perjanjian. Keempat syarat dibagi menjadi dua unsur utama yang berkaitan dengan pihak pembuat perjanjian (unsur subjektif) dan dua unsur utama lainnya yang berkaitan secara langsung terhadap objek perjanjian (unsur objektif). Jika dari keempat unsur ini salah satunya tidak terpenuhi, maka perjanjiannya dianggap cacat, baik bisa dibatalkan (unsur subjektif) atau batal karena hukum (unsur objektif).
Pasal 1332 KUHPer menyatakan bahwa objek perjanjian harus berupa barang yang dapat diperdagangkan. Namun, dalam pernikahan kontrak, objek perjanjian adalah pernikahan yang dibatasi waktu, yang mana pernikahan semacam ini bukanlah barang yang bisa dijual belikan. Hal tersebut telah melanggar persyaratan objektif terhadap sebuah perjanjian, yakni objeknya jelas dan jenisnya mampu ditetapkan.
Persyaratan objektif lainnya yang tidak dipenuhi ialah sebab yang dihalalkan. Pernikahan mut’ah memiliki perjanjian yang sangat bertolak belakang terhadap perjanjian pernikahan yang tercantum pada Pasal 2, 5 dan 6 KHI , KUHPer dan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Hal yang mengakibatkan dianggap terlarang apabila tidak diperbolehkan undang-undang atau bertolak belakang terhadap ketertiban umum dan kesusilaan. Isi perjanjian perkawinan pada nikah mut’ah mencakup durasi pernikahan, imbalan yang diberikan kepada satu pihak, kewajiban dan hak kedua pihak, serta perihal lain yang dibutuhkan.
Meskipun pernikahan mut’ah dilakukan sesuai dengan Agama Islam dan mencukupi Undang-Undang Perkawinan (Pasal 2 ayat 1), sahnya pernikahan tersebut tidak bisa dianggap langsung sah sesuai syariat. Ini disebabkan karena perlu ada pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa syarat dan rukun pernikahan Islam benar-benar terpenuhi. Dengan demikian, meskipun persyaratan telah terpenuhi, keabsahan pernikahan tersebut belum dapat dipastikan sebelum ada penilaian dari Pengadilan Agama.
Dampak Kawin Kontrak
Pernikahan kontrak tidak dianggap sebagai pernikahan sah sebab tidak didasarkan guna membangun keluarga harmonis atau menjalankan perintah Allah. Tujuan nikah mut’ah lebih didasarkan pada kebutuhan secara biologis atau ekonomi saja. Di samping itu, pernikahan mut’ah bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (2). Faktor lain yang perlu dipahami adalah anak dari pernikahan mut’ah bisa dirugikan sebab anak tersebut tidak akan mempunyai status yang jelas atau ayah biologis sahnya.
Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) menyebutkan, bahwa “Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” di mana hal ini bertentangan atas ketentuan pada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 43 ayat (1) Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa:
“Undang-Undang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata anak dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang sah menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.”
Anak yang lahir diluar pernikahan sah biasanya hanya memiliki hubungan perdata dan darah dengan ibu biologisnya. Ini termasuk anak dari hubungan tanpa ikatan nikah, perselingkuhan, dan pernikahan siri. Perceraian pada usia anak sering terjadi akibat pernikahan yang tidak representatif. Masalah anak-anak yang sebelumnya masih dipertimbangkan dalam rumah tangga kini menjadi lebih rumit saat menghadapi perceraian dan dampak-dampak yang timbul setelahnya, yang biasanya berdampak pada perempuan.
Baca juga: URGENSI PENCATATAN PERKAWINAN
Hukum Islam menyatakan bahwa anak luar pernikahan tidak bisa diakui ayah kandungnya. Anak ini hanya memiliki hubungan secara hukum dengan ibu mereka. Meskipun anak tersebut tetap memiliki seorang ibu yang melahirkannya, hubungan hukum mereka hanya dengan ibu, mirip dengan hubungan anak sah dengan ayah. Sehingga berdasarkan hukum Islam, status anak yang terlahir di luar nikah merupakan anak luar kawin, yang tidak mempunyai hubungan secara perdata dengan sang ayah, namun memiliki hubungan secara hukum dengan sang ibu.
Maraknya praktik pernikahan kontrak menimbulkan dampak buruk, seperti adanya lokalisasi terselubung serta peningkatan populasi yang tidak terkontrol sebab kelahiran anak-anak dari pernikahan tersebut. Istri tidak berkekuatan hukum dalam menuntut kewajiban suami kontraknya bahkan menjaga dirinya sendiri jika tidak ada akta nikah dan surat nikah. Akibatnya, dalam hukum pernikahan kontrak, istri mesti memenuhi segala tanggung jawab layaknya istri sesungguhnya. Namun, istri kontrak sadar sejak awal bahwa mereka tidak akan mempunyai kewenangan seperti dalam pernikahan sah.
Referensi
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kementerian Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah, 2018.
Abdullah, Zaitun dan Kunthi Tridewiyanti. “Penyalahgunaan Konsep Kawin Mut’ah pada Praktik Kawin Kontrak”. Journal of Islamic Law Studies (JILS), No.1, Vol.2, 2021.
Hariati, Sri. Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum Dan Realita Dalam Masyarakat. JATISWARA, No. 1, Vol. 30, 2015.
Hermawati, Yuli dan Muhammad Abdul Malik. “Hikmah Larangan Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Perspektif Hukum Islam”. Mitsaqan Ghalizan: Jurnal Hukum Keluarga dan Pemikiran Hukum Islam, No. 1, Vol. 2, 2022.
Rais, Iswanti. “Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan”. Ahkam, No. 1, Vol. XIV, Januari 2014.
Zahra, Ulfatul, Muslim, Egi Maulidia, dan Irfansyah Siregar. “Dampak Sosial & Hukum Pernikahan Kontrak Dalam Islam”. SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, No. 4, Vol.1, 2024.
Hernawan, Fajar. “Tinjauan Yuridis Kawin Kontrak dan Akibat Hukumnya dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia”, pa-cianjur.go.id, diakses pada 13 Juni 2024.
Safitri, Cahya Milia Tirta, Latar Belakang Kawin Kontrak (Studi Fenomenologis Pada Wanita Pelaku Kawin Kontrak Di Kabupaten Jepara), lib.unnes.ac.id, diakses pada 13 Juni 2024.