Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian
Ada hal yang sering kali membuat saya termenung ketika mempelajari kontrak-kontrak dalam praktik hukum. Di antara tumpukan pasal-pasal dan lampiran, saya sering menemukan klausula yang secara sepintas tampak wajar, tetapi menyimpan potensi ketimpangan yang serius. Klausula itu dikenal sebagai klausula eksonerasi. Dalam dunia hukum, istilah ini merujuk pada ketentuan dalam perjanjian yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak—biasanya pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat—dari akibat hukum tertentu seperti kerugian, wanprestasi, atau pelanggaran.
Klausula eksonerasi tidaklah asing dalam dunia bisnis, asuransi, atau kontrak layanan digital. Misalnya, sebuah perusahaan ekspedisi bisa menuliskan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas keterlambatan pengiriman karena alasan apapun. Dalam polis asuransi, perusahaan asuransi kerap memasukkan ketentuan yang mengecualikan tanggung jawab atas kondisi tertentu. Bahkan dalam situs-situs digital, kita sering diminta menyetujui “terms and conditions” yang menyatakan penyedia layanan tidak bertanggung jawab atas kerugian pengguna.
Baca juga: Kawin Kontrak Menurut Fatwa MUI
Bentuk-bentuk ini mengemuka dalam perjanjian baku yang tidak lagi memberi ruang tawar-menawar. Saya pun bertanya dalam hati, apakah sebuah perjanjian tetap sah jika ternyata hanya satu pihak yang mendapatkan perlindungan maksimal, sementara pihak lainnya dipaksa menerima risiko secara sepihak?
Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata dan Batas Klausula Eksonerasi
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memang memberikan legitimasi terhadap asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian dan perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Tapi dalam praktiknya, kebebasan ini sering kali dimaknai secara ekstrem. Padahal, ayat berikutnya dan asas-asas hukum lain telah menekankan bahwa kebebasan itu tetap dibatasi oleh hukum, kepatutan, dan ketertiban umum.
Saya melihat di sinilah titik persoalannya. Ketika kebebasan berkontrak digunakan sebagai tameng untuk mencantumkan klausula-klausula yang merugikan pihak tertentu, maka kebebasan itu berubah menjadi instrumen dominasi. Hukum perdata memang tidak melarang klausula eksonerasi secara eksplisit, tetapi jika isinya menghapus seluruh kemungkinan tanggung jawab, patut dipertanyakan legitimasi etik dan hukumnya.
Secara normatif, klausula eksonerasi bisa dianggap sah jika tidak melanggar ketentuan hukum, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan dibuat dengan itikad baik. Tapi dalam kenyataan, banyak klausula ini justru menghilangkan seluruh akses pihak lain terhadap pemulihan hukum. Saya pernah membaca sebuah kasus di mana sebuah rumah sakit menyisipkan klausula bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kesalahan tenaga medis yang terjadi di luar jam praktik. Pengadilan akhirnya membatalkan klausula tersebut karena dinilai mencederai hak pasien untuk memperoleh perlindungan hukum.
Putusan MA No. 822 K/Pdt/2005 menjadi salah satu preseden menarik. Dalam perkara itu, Mahkamah Agung menyatakan klausula pembebasan tanggung jawab dalam kontrak tidak berlaku karena merugikan konsumen secara tidak proporsional. Ini menunjukkan bahwa legalitas klausula eksonerasi sangat bergantung pada proporsionalitas dan keadilan isi kontrak.
Dinamika Perlindungan Konsumen: Antara Kontrak Baku dan Ketimpangan
Saya tidak bisa tidak mengaitkan klausula ini dengan perlindungan konsumen. UU No. 8 Tahun 1999 secara eksplisit menolak klausula yang menghilangkan hak konsumen untuk menuntut ganti rugi. Pasal 18 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula yang menyatakan tanggung jawabnya ditiadakan. Bahkan, undang-undang ini menganggap klausula tersebut batal demi hukum.
Ini memberikan pesan penting bahwa meski KUH Perdata bersifat netral dan memberi ruang kebebasan kontrak, tidak semua kebebasan bisa diterima ketika menyangkut relasi yang timpang. Hukum perlindungan konsumen muncul sebagai korektif atas potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam perjanjian. Di sinilah saya merasa ada ironi. Kontrak yang mestinya disusun berdasarkan kesepakatan, berubah menjadi dokumen sepihak. Pihak yang lemah, seperti konsumen atau pekerja, sering kali hanya menjadi objek penerima, bukan subjek yang bisa menentukan isi perjanjian. Klausula eksonerasi kemudian menjadi alat pelindung bagi pihak kuat, tapi juga potensi penindasan bagi pihak lemah.
Apakah semua klausula eksonerasi buruk? Tentu tidak. Saya percaya ada situasi di mana pembatasan tanggung jawab bisa dimaklumi, misalnya untuk risiko yang benar-benar di luar kendali manusia. Namun, ketika klausul tersebut menyapu bersih seluruh kemungkinan tanggung jawab tanpa batas, saya pikir ada sesuatu yang perlu dikritisi. Kita tidak bisa terus-menerus menyandarkan keabsahan kontrak pada logika formalisme tanpa melihat konteks dan akibatnya.
Menimbang Keadilan dalam Perjanjian
Saya jadi teringat pandangan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum bukanlah menara gading yang terpisah dari realitas. Hukum hidup dalam masyarakat, dan oleh karena itu, ia perlu merespons ketimpangan yang ada. Dalam hal klausula eksonerasi, saya melihat perlunya kesadaran dari para pihak—terutama pihak yang menyusun kontrak—untuk memikirkan kembali apakah isi perjanjiannya benar-benar adil dan tidak memberatkan satu pihak secara berlebihan.
Baca juga: Perbedaan Civil Law dan Common Law dalam Penemuan dan Penerapan Hukum
Kesadaran itu penting agar hukum kontrak tidak menjadi alat legalisasi ketimpangan. Maka, pengawasan terhadap klausul-klausul sepihak ini menjadi relevan, baik oleh regulator, hakim, maupun akademisi hukum. Setiap kata dalam kontrak bukan sekadar simbol legal, tetapi juga cermin dari nilai dan keberpihakan.
Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya terhadap praktik hukum yang sering kali mengabaikan dimensi etika dan keadilan substantif. Klausula eksonerasi hanyalah salah satu contoh dari banyaknya celah dalam praktik berkontrak yang bisa merugikan pihak yang lebih lemah. Saya tidak menawarkan solusi tunggal, tetapi saya percaya bahwa membuka ruang diskusi dan refleksi kritis adalah langkah awal untuk membangun hukum yang lebih peka terhadap relasi kuasa dan kebutuhan keadilan yang nyata.
Dengan memahami batas dan konteks klausula eksonerasi, saya berharap kita bisa kembali pada semangat awal hukum perdata: menciptakan kepastian hukum yang tidak melupakan kemanusiaan.